Mengapa Kita Takut?

Peringatan: artikel ini nggak menjawab pertanyaan itu sama sekali.

Kalau kita punya lima macam emosi, yang kita punya adalah rasa senang, sedih, marah, jijik, dan takut. Persis seperti yang ada di film “Inside Out”. Persis seperti kalimat-kalimat pertama pada novel “Pulang”-nya Tere Liye. Iya benar. Dalam hidup ini kita bisa merasa senang, sedih, marah, jijik, takut, semuanya diatur oleh kendali memori dengan bermilyar komponen yang bekerja secara bersama, berkelanjutan, sambung-menyambung, dengan kecepatan tinggi. Semua pengalaman hidup yang pernah kita kita lalui tersimpan dalam gudang memori besar dalam otak. Pertanyaan saya adalah:

“Mengapa kita punya rasa takut?”

Iya. Mengapa kita punya rasa takut? Takut karena apa? Takut akan sesuatu yang sudah terjadi? Tidak. Kita takut dengan sesuatu yang belum terjadi. Mengapa? Mengapa kita takut?

Otak kita ternyata bisa berimajinasi. Menggambarkan kejadian-kejadian khayal, baik yang menyenangkan atau yang tidak menyenangkan. Normalnya, kita takut dengan khayalan yang tidak menyenangkan itu. Kita mau daftar masuk ke perguruan tinggi misalnya, takut nggak keterima. Mau daftar tes kerja, takut nggak keterima. Mau nembak cewek, takut nggak keterima. Mau pacaran? Takut putus!

Kenapa? Bukankah kita seharusnya takut hanya kepada Allah? Takut apa yang kita kerjakan tidak diridhoi Allah?

Saudara kembar saya misalnya, takut banget sama hantu. Haduh, klise ya. Takut hantu. Takut gelap.

Saya juga misalnya, takut sama dokter gigi. Baru masuk ruangannya aja udah gemeteran. Baru liat pinset sama cermin bunder itu aja udah nangis. Takut apa? Takut benda-benda itu bikin saya mati.

Kenapa sih kita takut? Takut apa yang kita kerjakan tidak diridhoi Allah? Bukannya kita belum melakukan?

Takut. Takut yang paling UMUM adalah takut MENCOBA.

Takut mencoba buat jatuh cinta lagi. Takut mencintai lagi. Itu kenapa? Itu ngapain???

Jatuh cinta itu hal yang hebat. Kalau katanya mas pay, itu kayak dopamin. Bikin mumbul kadang-kadang. Bikin senang. Ya meskipun juga bikin galau. Dan saya benar, sudah merasakan mumbulnya itu. Cuman saya jatuh cinta pada orang yang salah. Saya jatuh cinta sama orang yang takut jatuh cinta lagi. Itu aneh. Jatuh cinta kok bikin trauma? Kalau cinta bikin trauma, bukan cinta namanya! Pernah sakit hati? Terus jadi trauma? Cintamu pamrih sekali, ya.

Heeeeh, baper. Oke next.

Buat apa kita takut sih? Saya sendiri juga ngerasa gitu. Saya nyaman sekali dengan pekerjaan saya yang sekarang. Tapi kenapa saya nggak nyobain kerjaan di tempat lain? Dengan profesi yang lain? Saya yakin bisa mendapatkan income yang lebih besar dari di sini. Kenapa? Lalu saya sadar. Saya sudah terlanjur nyaman di sini. Saya TAKUT, saya tidak akan bisa senyaman ini misalnya saya pindah kerja ke tempat, lingkungan, dan kegiatan kerja yang baru. Iya takut. Takut apa, sih? Itu sebenernya cuma alesan yang dibuat-buat aja, kan? Padahal saya juga belum mencobanya.

Buat apa sih, kita takut?

Takut mengecewakan orang tua. Misalnya saya mau daftar tes CPNS lagi. Terus muncul rasa takut itu. Takut mengecewakan bapak ibu jika tidak lolos lagi. Kemudian saya pikir-pikir, itu ngapain sih? Mencoba saja belum, sudah takut duluan. Belum berusaha, belum belajar giat, sudah takut duluan.

Akhir-akhir ini muncul satu rasa takut lagi dalam hidup saya. Bukan, bukan takut jatuh cinta lagi gara-gara abis kena PHP. Saya baru kali itu merasakan perasaan yang se-menyenangkan-itu. Saya ingin merasakannya lagi. Tapi rasa takut itu muncul. Saya takut tidak bisa merasakan yang seperti itu lagi. Itu ngapain? Itu buat apa sih, takut gitu? Kemudian saya sadar, selama ini saya menutup hati untuk yang lain. Tentu saja saya takut. Hatinya ditutup, mau jatuh cinta ke siapa lagi. Pengen seneng macem gimana lagi kalo gitu?

Ya sama saja mungkin, takut memulai hubungan baru karena takut putus. Tapi hei, darimana kamu tahu kamu bakal putus kalau belum mencoba. Lagian kenapa belum apa-apa udah nyerah? Belum apa-apa udah pesimis. Bukannya kita kudu optimis ya? Optimis sama saja bohong? Itu cuma kata-kata orang yang takut menghadapi kenyataan yang harus dihadapi saja. Nggak mau berusaha.

Sebenarnya takut mencoba itu-lah yang mengganggu kehidupan kita selama ini (kehidupan saya –red). Kenapa sih, takut mencoba? Buat apa? Kejadiannya kan belum terjadi. Bisa jadi itu hanya di angan-angan kita saja. Cuma serangkaian imajinasi di kepala. Belum tentu kejadian yang akan kita lalui jadinya seperti itu, bukan? Bukankah dengan pesimis seperti itu berarti kita berprasangka buruk juga kepada Allah? Hmm..

Jadi solusinya, kita harus berani? Berani nyobain jus jambu, misalnya. Iya, saya nggak suka jus jambu. Kenapa? Karena saya nggak suka baunya. Pernah nyoba? Enggak! Gimana bisa suka kalo nggak pernah nyoba? Itulah. Takut nggak enak. Takut nggak suka. Takut nggak abis entar kalo udah dibikinin/dipesenin. Heh, bukannya belum dicoba ya? Kalo udah dicoba, barulah bisa bilang “nggak enak”. Kenapa? Eman sama jus jambunya? Bisa buat orang lain yang lebih membutuhkan? Halah kamu itu takut aja. Cari aja suket di lapangan sana. Sama banyaknya sama alasanmu, Ep.

sumber: recipefromapantry.com

Maaf artikelnya ngawur. Pertanyaan-pertanyaan ini lagi muter-muter di kepala. Mungkin ada yang punya solusi? Ada yang bisa menjelaskan? Boleh dong ditulis di komentaaaar. :D

Thank you!