Sabtu, 19 Desember 2015

Keinginan Sederhana Remaja yang Kita Harus Tahu

Remaja adalah masa-masa paling indah, katanya. Tapi masa remaja juga merupakan masa-masa paling banyak godaan. Sampe-sampe sebelum ke akhirat nanti kita bakal dikasih pertanyaan yang salah satunya, “Untuk apa kau menghabiskan masa mudamu?”

Berdasarkan survey yang sudah dilakukan (saya baca di buku yang saya lupa judulnya, lupa penulisnya, yah pokoknya bukunya best seller gitu deh di Amerika (lain kali bawa catetan, Ep! *pentung*)), orang dewasa menganggap remaja adalah sumber dari masalah. Mereka menganggap remaja itu sukanya hanya merusak saja, malas-malasan, berfoya-foya, melakukan hal yang tidak banyak manfaatnya, tidak mau dibilangi, dan semuanya yang jelek-jelek. Kemudian dalam survey tersebut dimunculkan pertanyaan, apakah para orang dewasa mengerti apa yang menjadi sebab dari tingkah remaja yang seperti itu? Dan ternyata kebanyakan dari mereka tidak tahu. Mereka bingung. Apalagi para orang tua, mereka merasakan perubahan pada anak mereka ke arah yang menurut mereka tidak baik. Tapi ternyata tidak sedikit dari mereka yang TIDAK MAU TAHU.

Les malah selfie
Jadi setelah saya baca-baca gratisan di togamas waktu itu, saya simpulkan. Sebenarnya ada bebeapa hal sederhana yang sebenarnya diinginkan remaja dari kita (para dewasa, sebagai orang tua atau guru yaa) atau bisa disebut tuntutan remaja untuk kita. Simak ya...

Kepercayaan
Kebanyakan orang dewasa sudah terdoktrin bahwa remaja suka melakukan hal-hal yang menyimpang, sehingga ketika anaknya sudah tumbuh menjadi remaja, kepercayaan orang tua mulai luntur. Mungkin terlalu banyak nonton sinetron, sehingga saat anaknya pulang telat dari sekolah karena ada rapat OSIS atau kegiatan sekolah lainnya, orang tua langsung menuduh anaknya berbohong. Padahal siapa lagi orang yang harus percaya pada anak selain orang tuanya? Misalnya seperti ini:
-          “Dari mana kamu? Kok pulang telat?”
-          “Dari rapat OSIS, pak. Batre hp mati jadi nggak bisa ngabarin.”
-          “Bener? Apa nggak sengaja kamu matikan hapenya biar Bapak Ibuk nggak bisa hubungin?”
-          “Iya bener. Nih, hapenya mati.” *sambil nunjukin hp*
-          “Udah-udah sekalian aja besok nggak usah pulang sekalian kalo telat-telat terus pulangnya!”
What? Terus kudu jawab apa dia?
Bapak, Ibu, dia butuh kepercayaan dari kalian. Bukan malah permission untuk melakukan tindakan menyimpang kayak gitu. Kata-kata kita bahkan sering ditelan mentah-mentah sama mereka. Akhirnya? Ya nggak pulang sekalian.
Itu juga kenapa saya saat anak-anak ulangan saya biarin. Bukan saya biarin nyontek, maksudnya. Tapi di awal ulangan selalu saya kasih tahu untuk mengerjakan sendiri-sendiri karena mereka punya malaikat Raqib dan Atid di pundak masing-masing. Setelah itu tinggal saya ‘sssst’2in kalau ada yang rame. Percaya aja kalau ramenya itu bermanfaat. Karena sesuai sama pengalaman saya waktu remaja dulu, guru yang percaya muridnya malah disegani. Muridnya malah sungkan mau nyontek. Ini bener loh!

Kebebasan
Nggak pulang sekalian tadi itu juga disebabkan anak remaja butuh kebebasan. Kebebasan untuk mencoba hal-hal baru. Memang, orang tua sangat berperan penting di bagian ini. Maka jangan sampai orang tua memberikan sinyal yang salah seperti ‘pura-pura tidak peduli’ atau malah melontarkan kata-kata yang tidak tepat. Remaja juga menginginkan kebebasan untuk berekspresi. Sebenarnya di poin ini mereka memang tidak terlalu peduli apakah yang mereka lakukan baik atau tidak. Orang tua bisa mengajak mereka bicara tentang hal ini. Mereka yang bicara ya, bukan orang tua. Dengan begini saja, hak kebebasan berekspresi mereka sudah tersalurkan. Setelah itu kita sebagai orang tua atau guru baru bisa mengarahkan, dengan nada mengobrol, bukan menasihati. Remaja susah nangkep kalau udah ada nada nasihat gitu (katanya buku loh). Kita coba beri pandangan pada mereka, biar mereka sendiri yang memutuskan hal yang ingin mereka lakukan sebagai proklamasi kebebasan mereka itu baik atau tidak. Itu juga kebebasan mereka dalam memilih.
Juga sama seperti kebebasan dalam memilih teman. Jika kita sudah mempercayakan teman untuk bersekolah di suatu tempat, maka sudah jadi kebebasan mereka dalam memilih teman. Remaja yang sudah mendapatkan kepercayaan tersebut akan bisa memutuskan, apakah temannya membawa pengaruh yang baik atau buruk baginya. Dan dia sendiri yang bebas memutuskan itu, bukan orang tua atau guru.

Pengakuan Diri
Mereka ingin diakui keberadaannya. Hal ini sering dialami oleh remaja yang hidup dengan banyak saudara atau tinggal dalam keluarga yang tidak terlalu harmonis. Cara penanganannya yaitu dengan selalu memberikan apresiasi kepada mereka sekalipun yang mereka lakukan hanya hal-hal kecil, karena mereka butuh itu. Mereka butuh diakui. Mereka butuh dianggap ada, dan spesial.

Pengertian
Sebenarnya masa remaja adalah masa dimana banyak bermunculan pertanyaan hidup. Tapi remaja juga sulit untuk mengungkapkan apa yang mereka rasakan atau apa yang mereka takutkan. Yang perlu dilakukan orang dewasa (orang tua atau guru) dalam hal ini juga sama. Ajak mereka bicara. Bicara obrolan-obrolan ringan seperti tentang teman-teman di sekolahnya, keseharian di rumah jika orang tua tidak di rumah, rasa makanan, atau rencana rekreasi weekend mendatang. Setelah itu biarkan mereka yang bicara. Dengarkan dengan baik sebagai pendengar yang baik. Malah kadang salahnya orang tua adalah, orang tua meminta remaja hanya mendengarkan saja, dengan anggapan orang tua yang lebih tahu. Orang tua yang lebih paham, lebih punya banyak pengalaman hidup. Padahal yang perlu didengar adalah si remaja itu sendiri.

Perhatian
Remaja memang menuntut perhatian baik di rumah (oleh orang tua) maupun di sekolah (guru). Sebenarnya yang berperan penuh di sini adalah orang tua. Di rumah, mereka paling tidak punya 1-2 saudara. Orang tua seharusnya dapat mensuplai kebutuhan ‘perhatian’ untuk mereka, seperti saat mereka punya pertanyaan-pertanyaan sepele yang ingin ditanyakan. Sepele, tapi dampaknya besar jika kita tidak menanggapi. Mereka akan merasa tidak diperhatikan, akhirnya jarang berkomunikasi dengan orang tua di rumah. Mereka pikir, “ah, percuma aku tanyakan juga nggak bakal dijawab.” General untuk semua pertanyaan, baik sepele maupun pertanyaan penting lainnya. Bagaimana dengan guru? Guru juga berperan di sini. Mereka yang tidak mendapat cukup perhatian di rumah kadang melakukan hal-hal menyimpang untuk mendapat perhatian orang tua. Dan ini terbawa ke sekolah juga. Guru juga punya peran untuk membantu di sini. Tapi tentu saja, berapa siswa yang dihadapi guru di satu kelas? Satu sekolah?

Kalau saya sih.....selalu berusaha menjawab semua pertanyaan siswa meskipun pertanyaan itu sepele-sepele. Karena saya percaya, mereka menanyakan hal tersebut karena benar-benar ingin bertanya. Mereka yang notabene kesulitan mengungkapkan apa yang di benak mereka, tiba-tiba berani melontarkan pertanyaan (yang sebenarnya sepele) kepada saya. Apresiasi yang saya lakukan? Ya harus saya jawab. Mungkin itu salah satu bentuk perhatian kita kepada remaja, yang paling sepele.

Privasi
Karena remaja menuntut kepercayaan tadi, tentu saja mereka berkeyakinan bahwa mereka memiliki ‘privasi’ atau hal yang tidak boleh diketahui orang lain, tidak terkecuali orang tua (apalagi guru). Tapi ini juga hal yang sering lupa tidak diberikan orang tua kepada anaknya yang menginjak usia remaja.

Nah itu tadi sebenarnya beberapa hal sederhana yang sering kita lupa. Lalu bagaimana saya menghadapi remaja-remaja itu (sebagai orang tua atau guru)?
  • Kiat-kiat supaya bisa berkomunikasi dengan remaja:
  • Berbicara dengan lembut
  • Menggunakan nada ‘mengobrol’, bukan nada menasihati
  • Banyak mendengarkan dibandingkan bicara
  • Tidak sekalipun berteriak, meskipun mereka melakukan kesalahan. Yang perlu ditanyakan di awal saat mereka melakukan kesalahan adalah: alasan mereka melakukannya
  • Tidak mengancam. Baik ancaman yang terselubung seperti, “kamu jangan lupa membersihkan kamarmu lagi ya, nanti uang jajannya nggak disamain kayak punya kakak,” atau yang blak-blakan seperti, “Awas ya kalau kamu bohong, nggak boleh keluar rumah selama seminggu!”
  • Biarkan mereka berekspresi dan berbicara sesuka hatinya, jika dia mengatakan hal yang buruk maka kita ingatkan dengan baik-baik
  • Ajak mereka bercanda, jika perlu kita memang harus update dengan trend anak muda, agar mereka bisa menganggap kita teman. Kita dianggap teman, itu tidak buruk. Kita dianggap teman, artinya mereka sudah mempercayai kita. Ini akan memudahkan komunikasi kita dengan mereka.

 Kurang lebih itu yang saya tangkep dari buku yang saya baca. Bentar deh, kapan-kapan kalo nganggur lagi, saya bakal beli bukunya. Hehehe. (payah nih, Ep. Source-nya jadi kena bajak kamu.) Gomeeen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kasih masukan aja gak papa. Tambahin pendapat juga gak papa. Kalo ada pendapat lain sampein aja. Kritik aja juga gak papa. Terserah mau nulis apa deh, biar rame. Oke? *peluk cium dari header*