Kamis, 17 Desember 2015

Warna Warni Mengajar

Nah, kali ini saya mau cerita. Lagi? Kok cerita tok se, Ep....
Lah iya, mau berbagi cerita. Lagi sepi soalnya *nangis darah*

Jadi guru itu menyenangkan, teman-teman. Entah kenapa ya. Apa gara-gara ini cita-cita saya dari kecil? Apa karena dari sononya jadi guru itu memang ditakdirkan se-menyenangkan ini? Apa karena sejauh ini belum ada masalah-masalah yang signifikan? Hmmm.

Sudah terhitung dari bulan September (tepatnya akhir Agustus) saya mengajar di salah satu Madrasah Aliyah swasta di kota saya, Lumajang. Madrasah Aliyah (disingkat MA) itu setaraf SMA, tapi berbasis keagamaan gitu lho. Jadi mereka punya lebih banyak mata pelajaran agama dalam kurikulumnya, kayak fiqih, Qur’an Hadist, Sejarah Kebudayaan Islam, dll. Dan di sana juga ada pesantrennya yang muridnya mencapai ribuan. Ceritanya saya ngajar di sana bukan karena saya ngelamar di sana, tapi di sana lagi butuh guru pengganti kimia karena guru kimianya sedang cuti hamil. Sumpah baru dengar juga nama sekolahnya saat itu, dan baru tahu kalo di daerah itu ada sekolah dan pesantren segede itu. (Hehe pangapunten, Gus.)

 Oiya, kalau di pesantren gitu, panggilan untuk tetua pesantren seperti pewaris-pewaris pesantrennya itu namanya “Gus”. Memang unggah-ungguhnya seperti itu. Saya awal-awal ngajar di sana juga manggilnya “Pak”, tapi kemudian ada guru yang ngasih tau kalau tata krama di pesantren sebaiknya memanggil dengan panggilan “Gus”. Wah, baru tau saya. <<gak pernah mondok

Mengajar di lingkungan pesantren ada suka dukanya. Kelas putra dan putri disendirikan. Ada tantangan tersendiri ternyata dibandingkan dengan mengajar di kelas heterogen seperti saat saya PPL di SMAN 7 Malang dulu. Ya meskipun sama-sama menyenangkannya sih! (Jadi kangen, bagaimana kabar SABHATANSA? J) Jadi kalo ngajar kelas cewek, tantangannya adalah di celometannya. Biasalah, cewek. Pada suka nggosip. Tapi mereka memang lebih merhatiin ke pelajaran. Jadi mudah nangkep apa yang saya sampaikan juga. Kalo ngajar kelas cowok, wah.... Wah... Pertama masuk, saya speechless. Karena saya baru nyadar. Mereka adalah gerombolan remaja yang selama ini dilarang buat berdekatan, berbicara, bertegur sapa, berpandang-pandangan dengan lawan jenis. Dan saya masuk ke kelas tersebut sebagai guru, yang harusnya jadi pusat perhatian. Apa saya jadi pusat perhatian? Tentu saja! Mereka heboh sekali. Duh. Itulah yang menjadi tantangannya. Meskipun akhirnya banyakan digodainnya daripada diperhatiin masalah pelajarannya K

Banyak cerita yang saya dapet di sekolah tersebut. Pernah sih, hampir nangis gara-gara nggak diperhatiin sama siswa laki-laki. Lebih banyak godain saya, mereka. Sampe saya capek dan bingung harus gimana lagi. Pernah juga, ada siswi yang curhat ke saya sampe nangis-nangis di kelas. Saya berusaha bantu masalahnya dia sebisa mungkin (yang nggak bisa saya tulis di sini juga masalahnya tentang apa). Sampe ada pengalaman juga ‘didekati’ oleh salah satu guru laki-laki di sana. Duh, ini yang susah. Saya padahal masih dalam tahap ‘penetralan’. Hati masih capek, Pak. Duh... Memang saya ini manusia yang gampang ditebak. Mintanya yang langsung serius, waktu dikasih, nggak mau. Maafkan ya Allah.

Pengalaman waktu menjadi pengawas UAS minggu lalu, saya masih ingat sekali. Saya menjadi pengawas kelas XI IPS, yang di ruang itu isinya 15 siswa laki-laki. Karena baru kali itu mereka dimasuki guru perempuan yang model saya gini (masih muda maksudnya), mereka ngerjain soal UAS sambil heboh. Seperti biasa, ritual pertama memasuki kelas laki-laki, saya ditanyain macem-macem. Mulai dari nama lengkap, rumah dimana, saudara berapa, punya pacar atau enggak, punya tunangan atau enggak, punya suami atau enggak (mereka nggak percaya banget kalo saya single), punya adek lagi yang bisa dijadiin pacar sama mereka atau enggak, pin BBM, nomer telfon, facebook, dan sebagainya. Selama jam pengerjaan UAS pun tak luputnya saya jadi bulan-bulanan mereka. Gerak dikit salah, pokoknya.

“Duh, Ustadzah. Jangan senyum terus gitu. Bikin deg-degan!”
“Ustadzah, nggak pantes kita panggil “Bu”. Kita manggilnya “Kak” aja, ya!”
“Ciee Ustadzah, nanti aku main ke rumahnya ya kalo taun baru. Awas kalau nggak boleh.” (langsung saya jawab, “Main aja kalo berani. Yang saya tunggu setaun aja baru berani kerumah. #eh”

Saya memang diam saja. Disuruh diam juga percuma. Saya memang gitu, sih. Menurut saya remaja itu perlu diberi kebebasan berekspresi, selama mereka sopan dan tidak bertindak kasar. Kalau ditekan mereka pasti berontak pada saat tertentu. Saya nggak suka yang kayak gitu. Ini menurut saya saja, sih.

Saat 15 menit sebelum bel pengumpulan, nah, tiba-tiba Gus-nya masuk ke kelas saya. Anak-anak yang dari tadi ngerjain sambil ketawa-ketiwi godain saya, langsung diem di tempat duduk masing-masing sambil menunduk mematung. Gus masuk sambil bawa ‘gepuk’, bahasa indonesianya pemukul.

“Lihat kukunya!” kata Gus tegas.

Saya bingung kudu ngapain, jadi saya tetep duduk anteng di pojokan kelas sambil senyam-senyum. Sambil nonton perubahan ekspresi mereka yang lucu. Tadinya gini, sekarang gitu. Hhahaha. Anak-anak yang kukunya panjang langsung kena pukul. Oke, saya jadi inget kegiatan setiap senin pagi di TK saya dulu ;). Anehnya anak-anak ini masih pada kena pukul. Kukunya panjang-panjang. Iuh. Setelah itu Gus menanyai apakah ada anak-anak yang sholatnya enggak 5 waktu. Ternyata banyak yang mengaku, teman-teman. Wow. Mereka benar-benar jujur mengakuinya pada Gus, dengan bahasa yang sangat sopan (kromo inggil). Saya semakin senyum-senyum. Dasar remaja ^^,

Setelah ‘menghukum’ siswa-siswa yang nggak sholat 5 waktu tadi, Gus tiba-tiba melihat ke arah saya 2 detik. Nah, ini yang tidak saya duga-duga. Beliau kemudian melempar pandangan ke arah siswa-siswa lalu bilang, “Gurunya.....cantik ya?”

“IYA!!!!!” langsung dijawab serempak sama siswa-siswa sambil teriak. Tegas. Wow. Saya semakin nunduk. Ini apaaaaa?

“Kalian sudah kenalan sama gurunya? Ini bu guru baru, kan?”

“Sampuuuuun,” jawab mereka lagi.

“Siapa namanya?”

“Bu Evi, Gus,” jawab mereka lagi.

“Kalian cinta sama Bu Evi?”

*hening*

Saya diem. Masih nunduk sambil nahan ketawa. Ini apa-apaan. Malu banget. Meskipun saya tahu apa yang bakal Gus katakan setelah ini, tapi tetap saja malu. Saya tatap wajah anak-anak itu yang juga semakin merah sambil nahan malu ditanyai gitu sama Gus-nya.

“Kalian cinta sama Bu Evi?”

“Emmm...,” nggak ada yang berani jawab.

“Cinta karena....Allah,” lanjut Gus. “Kalian harus cinta sama gurunya. Cinta karena Allah.”

AAAAAAH. Selamet gak baper,” saya tarik nafas lega. <<rawan

“Kalau kalian punya cinta yang spesial, ya sampaikan langsung pada Bu Evi. ‘Bu, saya cinta spesial ke jenengan,’” ternyata masih ada terusannya. Anak-anak tertawa tertahan. Pada merah semua wajahnya. Hahaha. Apalagi saya. “KALIAN CINTA SAMA BU EVI?”

“CINTA!!!!”

Hahaha itu sebuah pengalaman yang masih segar di ingatan saya. Parah. Tapi semakin menambah kecintaan saya pada anak-anak. Kecintaan saya pada mengajar. Dan memotivasi saya untuk semakin meningkatkan kemampuan & kinerja saya dalam mengajar. Cintailah pekerjaanmu teman-teman. Dan semuanya akan terasa semakin menyenangkan. Berangkat senang, pulang senang. Keluarga juga bakal bahagia liat kita kayak gitu. Mungkin materi memang belum terlalu penting sekarang, tapi pelajaran yang kita dapat dari anak-anak sebenarnya lebih besar artinya daripada materi itu sendiri.

X - 4

XI IPA 2

X - 3


XII IPA 2 :*


XI IPA 1
 Masih banyak foto lainnya, sih. Ini foto-foto masih belum pake seragam saya yang baru. Hehehe. Entah postingan ini pesannya apa, ya. Ah bukannya biasanya juga gitu? Postingan yang tidak berpesan sama sekali. Ya gapapa, Ep. Yang penting tidak baper hari ini sudah cukup :p

1 komentar:

Kasih masukan aja gak papa. Tambahin pendapat juga gak papa. Kalo ada pendapat lain sampein aja. Kritik aja juga gak papa. Terserah mau nulis apa deh, biar rame. Oke? *peluk cium dari header*