Nah, kali ini saya mau cerita. Lagi? Kok cerita tok
se, Ep....
Lah iya, mau berbagi cerita. Lagi sepi soalnya
*nangis darah*
Jadi guru itu menyenangkan, teman-teman. Entah
kenapa ya. Apa gara-gara ini cita-cita saya dari kecil? Apa karena dari sononya
jadi guru itu memang ditakdirkan se-menyenangkan ini? Apa karena sejauh ini
belum ada masalah-masalah yang signifikan? Hmmm.
Sudah terhitung dari bulan September (tepatnya
akhir Agustus) saya mengajar di salah satu Madrasah Aliyah swasta di kota saya,
Lumajang. Madrasah Aliyah (disingkat MA) itu setaraf SMA, tapi berbasis
keagamaan gitu lho. Jadi mereka punya lebih banyak mata pelajaran agama dalam
kurikulumnya, kayak fiqih, Qur’an Hadist, Sejarah Kebudayaan Islam, dll. Dan di
sana juga ada pesantrennya yang muridnya mencapai ribuan. Ceritanya saya ngajar
di sana bukan karena saya ngelamar di sana, tapi di sana lagi butuh guru
pengganti kimia karena guru kimianya sedang cuti hamil. Sumpah baru dengar juga
nama sekolahnya saat itu, dan baru tahu kalo di daerah itu ada sekolah dan
pesantren segede itu. (Hehe pangapunten, Gus.)
Mengajar di lingkungan pesantren ada suka dukanya.
Kelas putra dan putri disendirikan. Ada tantangan tersendiri ternyata
dibandingkan dengan mengajar di kelas heterogen seperti saat saya PPL di SMAN 7
Malang dulu. Ya meskipun sama-sama menyenangkannya sih! (Jadi kangen, bagaimana
kabar SABHATANSA? J)
Jadi kalo ngajar kelas cewek, tantangannya adalah di celometannya. Biasalah,
cewek. Pada suka nggosip. Tapi mereka memang lebih merhatiin ke pelajaran. Jadi
mudah nangkep apa yang saya sampaikan juga. Kalo ngajar kelas cowok, wah....
Wah... Pertama masuk, saya speechless. Karena saya baru nyadar. Mereka adalah
gerombolan remaja yang selama ini dilarang buat berdekatan, berbicara, bertegur
sapa, berpandang-pandangan dengan lawan jenis. Dan saya masuk ke kelas tersebut
sebagai guru, yang harusnya jadi pusat perhatian. Apa saya jadi pusat
perhatian? Tentu saja! Mereka heboh sekali. Duh. Itulah yang menjadi
tantangannya. Meskipun akhirnya banyakan digodainnya daripada diperhatiin
masalah pelajarannya K
Banyak cerita yang saya dapet di sekolah tersebut.
Pernah sih, hampir nangis gara-gara nggak diperhatiin sama siswa laki-laki.
Lebih banyak godain saya, mereka. Sampe saya capek dan bingung harus gimana
lagi. Pernah juga, ada siswi yang curhat ke saya sampe nangis-nangis di kelas.
Saya berusaha bantu masalahnya dia sebisa mungkin (yang nggak bisa saya tulis
di sini juga masalahnya tentang apa). Sampe ada pengalaman juga ‘didekati’ oleh
salah satu guru laki-laki di sana. Duh, ini yang susah. Saya padahal masih
dalam tahap ‘penetralan’. Hati masih capek, Pak. Duh... Memang saya ini manusia
yang gampang ditebak. Mintanya yang langsung serius, waktu dikasih, nggak mau.
Maafkan ya Allah.
Pengalaman waktu menjadi pengawas UAS minggu lalu,
saya masih ingat sekali. Saya menjadi pengawas kelas XI IPS, yang di ruang itu isinya
15 siswa laki-laki. Karena baru kali itu mereka dimasuki guru perempuan yang
model saya gini (masih muda maksudnya), mereka ngerjain soal UAS sambil heboh.
Seperti biasa, ritual pertama memasuki kelas laki-laki, saya ditanyain
macem-macem. Mulai dari nama lengkap, rumah dimana, saudara berapa, punya pacar
atau enggak, punya tunangan atau enggak, punya suami atau enggak (mereka nggak
percaya banget kalo saya single), punya adek lagi yang bisa dijadiin pacar sama
mereka atau enggak, pin BBM, nomer telfon, facebook, dan sebagainya. Selama jam
pengerjaan UAS pun tak luputnya saya jadi bulan-bulanan mereka. Gerak dikit
salah, pokoknya.
“Duh, Ustadzah. Jangan senyum terus gitu. Bikin
deg-degan!”
“Ustadzah, nggak pantes kita panggil “Bu”. Kita
manggilnya “Kak” aja, ya!”
“Ciee Ustadzah, nanti aku main ke rumahnya ya kalo
taun baru. Awas kalau nggak boleh.” (langsung saya jawab, “Main aja kalo
berani. Yang saya tunggu setaun aja baru berani kerumah. #eh”
Saya memang diam saja. Disuruh diam juga percuma.
Saya memang gitu, sih. Menurut saya remaja itu perlu diberi kebebasan
berekspresi, selama mereka sopan dan tidak bertindak kasar. Kalau ditekan
mereka pasti berontak pada saat tertentu. Saya nggak suka yang kayak gitu. Ini
menurut saya saja, sih.
Saat 15 menit sebelum bel pengumpulan, nah,
tiba-tiba Gus-nya masuk ke kelas saya. Anak-anak yang dari tadi ngerjain sambil
ketawa-ketiwi godain saya, langsung diem di tempat duduk masing-masing sambil
menunduk mematung. Gus masuk sambil bawa ‘gepuk’, bahasa indonesianya pemukul.
“Lihat kukunya!” kata Gus tegas.
Saya bingung kudu ngapain, jadi saya tetep duduk
anteng di pojokan kelas sambil senyam-senyum. Sambil nonton perubahan ekspresi
mereka yang lucu. Tadinya gini, sekarang gitu. Hhahaha. Anak-anak yang kukunya
panjang langsung kena pukul. Oke, saya jadi inget kegiatan setiap senin pagi di
TK saya dulu ;). Anehnya anak-anak ini masih pada kena pukul. Kukunya
panjang-panjang. Iuh. Setelah itu Gus menanyai apakah ada anak-anak yang
sholatnya enggak 5 waktu. Ternyata banyak yang mengaku, teman-teman. Wow.
Mereka benar-benar jujur mengakuinya pada Gus, dengan bahasa yang sangat sopan
(kromo inggil). Saya semakin senyum-senyum. Dasar remaja ^^,
Setelah ‘menghukum’ siswa-siswa yang nggak sholat 5
waktu tadi, Gus tiba-tiba melihat ke arah saya 2 detik. Nah, ini yang tidak
saya duga-duga. Beliau kemudian melempar pandangan ke arah siswa-siswa lalu
bilang, “Gurunya.....cantik ya?”
“IYA!!!!!” langsung dijawab serempak sama
siswa-siswa sambil teriak. Tegas. Wow. Saya semakin nunduk. Ini apaaaaa?
“Kalian sudah kenalan sama gurunya? Ini bu guru
baru, kan?”
“Sampuuuuun,” jawab mereka lagi.
“Siapa namanya?”
“Bu Evi, Gus,” jawab mereka lagi.
“Kalian cinta sama Bu Evi?”
*hening*
Saya diem. Masih nunduk sambil nahan ketawa. Ini
apa-apaan. Malu banget. Meskipun saya tahu apa yang bakal Gus katakan setelah
ini, tapi tetap saja malu. Saya tatap wajah anak-anak itu yang juga semakin
merah sambil nahan malu ditanyai gitu sama Gus-nya.
“Kalian cinta sama Bu Evi?”
“Emmm...,” nggak ada yang berani jawab.
“Cinta karena....Allah,” lanjut Gus. “Kalian harus
cinta sama gurunya. Cinta karena Allah.”
“AAAAAAH.
Selamet gak baper,” saya tarik nafas lega. <<rawan
“Kalau kalian punya cinta yang spesial, ya
sampaikan langsung pada Bu Evi. ‘Bu, saya cinta spesial ke jenengan,’” ternyata
masih ada terusannya. Anak-anak tertawa tertahan. Pada merah semua wajahnya.
Hahaha. Apalagi saya. “KALIAN CINTA SAMA BU EVI?”
“CINTA!!!!”
Hahaha itu sebuah pengalaman yang masih segar di
ingatan saya. Parah. Tapi semakin menambah kecintaan saya pada anak-anak.
Kecintaan saya pada mengajar. Dan memotivasi saya untuk semakin meningkatkan
kemampuan & kinerja saya dalam mengajar. Cintailah pekerjaanmu teman-teman.
Dan semuanya akan terasa semakin menyenangkan. Berangkat senang, pulang senang.
Keluarga juga bakal bahagia liat kita kayak gitu. Mungkin materi memang belum
terlalu penting sekarang, tapi pelajaran yang kita dapat dari anak-anak
sebenarnya lebih besar artinya daripada materi itu sendiri.
X - 4 |
XI IPA 2 |
X - 3 |
XII IPA 2 :* |
XI IPA 1 |
cantik :)
BalasHapus