Aku
melangkah gontai menuju parkiran motor sekolah. Sudah sore. Langit masih
mendung-mendung saja. Hujan belum turun. Sudah beberapa hari kota kami melalui
cuaca seperti ini. Panas. Pengap. Tekanan udara menurun. Tapi tidak juga hujan.
Sekolah sudah sepi. Kulihat hanya ada 5-10 sepeda motor yang tersisa di
parkiran. Aku menyingkap lengan panjang di tangan kiriku, melirik jam tangan
merah yang warnanya kontras dengan kemeja putih lengan panjang itu. 16.30. Itu
berarti setengah jam lagi sekolah ditutup. Entah apa yang masih dilakukan
beberapa siswa penting lainnya di
dalam sana. Pasti sedang mengurus beberapa event yang akan datang minggu depan,
ulang tahun sekolah.
Aku?
Apakah aku juga termasuk dari golongan siswa penting itu? Hmmm.. Mungkin tidak bisa dikatakan begitu. Aku memang
tidak bergabung di organisasi yang menuntut keaktifan seperti OSIS, keren
seperti anak-anak basket, atau garang seperti anak-anak Tae-Kwon-Do. Hanya saja
akhir-akhir ini aku sibuk mengurusi persiapan tim kami mengikuti lomba mading tingkat
provinsi yang akan dilaksanakan 3 hari lagi, tepatnya hari Jum’at. Ya, aku
tergabung dalam tim mading sekolah. Mading yang pada jaman ini jangankan
dibaca, dilirik saja tidak. Mading yang pada jaman ini hanya digunakan sebagai
pengganti cermin ‘darurat’ (karena mading kami memiliki kaca dan background gelap) untuk siswi yang baru
keluar dari kamar mandi dan entah kenapa mereka belum yakin dengan kejujuran
cermin di dalam kamar mandi. Mading yang pada jaman ini kadang dipilih sebagai
tempat strategis untuk menempel selebaran-selebaran promosi dari beberapa
lembaga bimbel, selebaran promosi lomba ekskul lain, selebaran promosi lomba
dari sekolah lain, bahkan selebaran promosi bakso Pak Kabul di kantin, “Beli 2
porsi, gratis 1 mangkuk gorengan.” Yang sialnya selabaran-selebaran itu
ditempel di bagian luar kaca mading, menutupi hasil kerja kami mengganti
artikel rutin setiap dua minggu. Tapi syukurlah dinas pendidikan mungkin masih
menghargai kami, anak-anak mading. Mereka mengadakan lomba mading tahunan di
kabupaten dan tahun ini kami berkesempatan unjuk gigi pada tingkat provinsi.
Seharusnya
aku tidak perlu pulang se-sore ini jika tidak gara-gara si Audi meminjam
motorku untuk ‘beli siomay’. Sekolah hari ini diakhiri pukul 11.00. Hari
Selasa, pulang jam sebelas sudah bisa disebut pulang pagi di sekolah kami.
Guru-guru memiliki acara yang tidak bisa ditinggalkan, melayat. Salah satu
kerabat kepala sekolah meninggal. Namun gedung sekolah ditutup seperti biasa,
karena kegiatan ekstrakurikuler pada hari ini masih tetap berjalan. Juga anak-anak
organisasi yang langsung terpacu adrenalin mereka saat tahu sekolah diakhiri
lebih awal. Ini kesempatan untuk menyelesaikan urusan yang belum selesai,
kesempatan untuk merapatkan yang belum dirapatkan, dan kesempatan untuk
merumitkan yang belum rumit dalam persiapan HUT sekolah.
Saat
bel pulang tadi, aku merapikan buku dan hendak menuju ruang mading. Aku sudah
mengumumkan pada 4 orang anggota tim mading lainnya untuk mengerjakan persiapan
lomba mading yang masih 60% sepulang sekolah. Aku sempat mendatangi mereka ke
kelas-kelas pada jam istirahat. Rina kelas X-4, Ferla kelas XI IPS 2, Arif
kelas X-7, dan Audi (tentunya) kelas XI IPA 5, kelas yang sama denganku. Aku
hendak melangkah keluar kelas sebelum Audi dengan tiba-tiba menarik lengan
kiriku ke belakang pintu. Kerudung putihku koyak, miring ke sebelah kiri karena
ditarik tiba-tiba (bersama lenganku).
“Apa
lagi?” kataku malas. Aku malas sekali berurusan dengan si rambut panjang ini
sejak tadi. Dia sempat meminta ijin padaku, yang merupakan ketua proyek lomba
mading, untuk datang terlambat di pengerjaan hari ini. Beli siomay, katanya. Oke
baiklah. Aku sudah mengijinkannya pada jam pelajaran terakhir tadi setelah
merengek padaku hampir 2 jam pelajaran lamanya dari bangku pojok kiri paling
belakang. Dia pasti tidak berniat untuk benar-benar membeli siomay. Aku tidak
tahu apa yang dilakukannya tapi dengar-dengar sih dia pacaran dengan mas-mas penjaga warnet di sebelah sekolah. Warnet
game online. Pulang pagi, kesempatan
buat berduaan lebih lama tanpa diketahui orang tua. Tapi tentu saja tetap
diketahui pengunjung warnet lainnya. Bagaimana tidak? Wong pacarannya di belakang meja operator situ.
“Hey,
Nat. Aku minta bantuanmu sedikit,” dia melihatku dengan wajah genit-memelasnya.
“Hmmm?”
gumamku. Bantuan apa?
“Boleh
aku pinjam motormu sebentar saja? Buat beli siomay. Abang siomay yang di depan
situ tidak berjualan hari ini. Boleh aku pinjam motormu untuk beli siomay di
dekat perempatan sana? Boleh ya..,” rengeknya. Sama seperti jam istirahat tadi.
Dia juga merengek seperti ini biar bisa pergi dulu ‘beli siomay’ sebelum
mengerjakan mading bersama yang lainnya. Tidak sekali-dua kali Audi ijin untuk
‘beli siomay’ tapi tidak kembali ke markas mading. Tapi kali ini? What? Mau meminjam motorku segala?
“Kamu
tahu darimana abang siomay-nya tidak jualan? Kan, kita baru mau keluar
sekolah?” aku bertanya menyelidik. Wajahnya berubah sebentar. Bola matanya bergerak
ke kanan. Mencari rumput. Mencari alasan. Kemudian dengan sedikit tergugup dia
mengatakan bahwa dia sudah mengecek pada jam istirahat tadi, gerobak abang
siomay yang biasa berjualan di depan sekolah tidak ada. Aku bersedekap. Menahan
rasa kesalku supaya tidak tertumpah semuanya.
“Ayolah,
Nata. Kalau aku kembali nanti, kamu
dan teman-teman lain aku bawakan siomaynya masing-masing seporsi. Eh...tidak! Satu
setengah porsi. Gratis!” serunya dengan mata berbinar-binar sambil
menggoyang-goyangkan lenganku. Aku menghela nafas. Demi mendengar kata gratis
tadi. Sekolah dipulangkan pagi berarti penjaga kantin dan koperasi sekolah
sudah merapikan dagangan mereka daritadi. Tidak peduli dengan beberapa anak
ekskul kelaparan yang tersisa. Mending berjualan di tempat lain sampai sore
nanti. Dengan terpaksa aku mengiyakan dan menyerahkan kunci motor bergantungan
bentuk onigiri milikku, sambil berpesan padanya untuk berhati-hati. Dia berlari
senang keluar pintu sekolah menuju parkiran motor di sebelah barat.
Parkiran
motor letaknya ada di luar gedung sekolah kami. Sekolah kami adalah sekolah
terpadu yang dalam satu lahan terdapat SD, SMP, SMA, dan SMK, namun memiliki
gedung yang berbeda-beda. Sore ini parkiran motor terasa lebih jauh dua kali
lipat daripada biasanya. Gara-gara kejadian tadi siang. Langkah kakiku berat.
Lelah sekali. Teman-teman mading sudah pulang 2 jam yang lalu. Teman-teman
bilang, saat aku sedang sholat dhuhur di mushola tadi, Audi kembali. Hanya satu
menit, mengembalikan kunci motorku. Tapi karena aku sedang di mushola saat itu,
dia memutuskan menaruhnya di meja lantas berpamitan pada teman-teman untuk
pulang duluan. Dia bilang ada acara RW. Siapa pula junior mading yang berani
terhadapnya? Dia pulang, tidak ada yang berani menahan. Audi hanya takut
kepadaku. Oke, mungkin bukan takut. Lebih tepatnya sungkan, karena ibuku teman
baik ibunya. Ada kemungkinan aku mengeluhkan hal ini ke ibuku dan ibunya jadi
tahu, bukan?
Aku
kesal. Aku masih kesal gantungan itu tidak kutemukan. Sial. Siaaaaal.
Aku
kembali dari mushola. Melihat ke wajah-wajah Rina, Arif, dan Ferla. Ada sesuatu.
“Ada
apa?” tanyaku pendek sambil nimbrung duduk di samping Rina yang menggunting
bentuk daun-daunan untuk artikel go-green
garapannya.
“Eem..
tadi.. Mbak Audi ke sini, Mbak. Itu kunci motor Mbak Nata sudah dia kembalikan
di meja,” jawabnya sambil terus menggunting. Terus menunduk. Memasang wajah
penyesalan. Aku paham. Dia kembali tapi hanya sebentar. Juga siomay satu
setengah porsi yang dia janjikan tadi, pasti hanya khayalan. Aku menelan ludah,
melirik ke atas meja sekretariat di pojokan. Kunci motorku, hanya kunci
sekarang. Dimana gantungan kunci onigiri kesayanganku?
Aku
melanjutkan mengerjakan mading bersama teman-teman. Aku mencoba mengabaikan
gantungan kunci yang tidak kulihat bersama kuncinya di atas meja sana.
Mengerjakan dengan tangan dan mata, tapi pikiranku sedang tidak di sana. Menulis
judul-judul artikel, menggunting beberapa kertas warna-warni, menempel,
menyerahkan pada Rina, mengarahkan Arif membuat ilustrasinya, menghela nafas
berat, menahan amarah, setidaknya sampai pekerjaan hari ini selesai. Supaya
urusan mading ini tidak terganggu. Tapi Ferla sepertinya menangkapku. Dia
sesekali menatapku kasihan. Mungkin dia ikut merasakan lelahnya jadi aku.
Gantungan
kunci itu pemberian ayahku beberapa tahun lalu. Hari itu hari ulang tahunku
yang ke-12. Itu hadiah terakhir pemberian ayah sebelum beliau pergi. Pergi
untuk selamanya. Aku merasa kesal. Aku marah. Aku marah pada Audi. Marah pada
diriku sendiri. Untuk apa aku pasang gantungan itu di sana? Jelas sekali kalau
gantungan itu terjatuh di jalan, pasti susah menemukannya lagi. Pukul 14.30,
teman-teman (yang sebenarnya kelaparan tapi pura-pura tidak lapar saat kusuruh
beli camilan di depan sekolah) memutuskan mengakhiri pekerjaan hari ini. Aku
sangat tidak bernafsu makan. Aku berkali-kali mengelap muka dengan ujung
kerudung. Menahan marah dan lelah membuat keringatku lebih banyak keluar di
daerah sini.
Sudah
sampai di parkiran motor. Aku menuju ke tempat Pak Maul duduk sambil
terkantuk-kantuk. Dia penjaga parkiran motor di sekolah kami. Selalu setia
menunggu dan memastikan keamanan kendaraan kami dari pagi hingga pukul lima
sore selama enam hari seminggu.
“Pak,
saya pamit pulang dulu,” kataku sambil tersenyum kecil, menyerahkan karcis
parkir dan menunjukkan Surat Tanda Nomor Kendaraan. Mendengar suaraku, mata Pak
Maul langsung terbuka lebar dan memperbaiki posisi duduknya, menerima karcis
parkir dariku.
“Eh,
baru mau pulang, Mbak Nata? Tidak perlu dikeluarkan STNK-nya. Seperti biasa,
Pak Maul sudah hafal sepeda motor Mbak Nata. Tadi dipinjam Mbak Audi kalau
tidak salah, ya?” katanya panjang sambil menusukkan karcis parkirku ke papan
paku yang diletakkan di mejanya. Tempat menaruh karcis parkir bekas. Aku
menjawab dengan anggukan. Masih malas bicara. Aku memang salah satu siswa yang
dihafal oleh Pak Maul. Sejak pertama masuk sekolah ini, aku lebih suka pulang
belakangan. Menunggu parkiran motor agak sepi dengan menghabiskan waktu di
ruang mading atau perpustakaan, mencari bahan untuk artikel mading. Aku
memasukkan STNK ke saku baju lantas membalikkan badan untuk menuju ke motorku
di ujung tempat parkir. “Mbak Nata! Sebentar, Mbak!”
Sontak
aku menoleh ke arah Pak Maul lagi. “Ada apa, Pak?”
“Ini.
Ada titipan buat Mbak Nata,” Pak Maul berjalan menyusulku. Membawa amplop kecil
berwarna biru muda dengan tulisan NATASYA
NIRWANA / XI IPA 5 di tengahnya yang diketik menggunakan font Calibri yang
dimiringkan. Alisku mengkerut. Ini amplop kedua.
(to be continued)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kasih masukan aja gak papa. Tambahin pendapat juga gak papa. Kalo ada pendapat lain sampein aja. Kritik aja juga gak papa. Terserah mau nulis apa deh, biar rame. Oke? *peluk cium dari header*