Senin, 07 Desember 2015

Cerbung 1: Amplop Biru (Part One)

Karena masih ribet dengan beberapa ide yang terus bermunculan, bingung mau nulis yang mana dulu, ini ada cerita bersambung yang saya bikin beberapa minggu yang lalu. Hehehe. Nggak jelas, sih. Tapi biar blognya jadi agak rame aja gitu. Dibaca monggo (sekalian komentar ya haha). Dilewatin doang juga gak papa (komentar juga ya haha). Salam happy :*

Aku melangkah gontai menuju parkiran motor sekolah. Sudah sore. Langit masih mendung-mendung saja. Hujan belum turun. Sudah beberapa hari kota kami melalui cuaca seperti ini. Panas. Pengap. Tekanan udara menurun. Tapi tidak juga hujan. Sekolah sudah sepi. Kulihat hanya ada 5-10 sepeda motor yang tersisa di parkiran. Aku menyingkap lengan panjang di tangan kiriku, melirik jam tangan merah yang warnanya kontras dengan kemeja putih lengan panjang itu. 16.30. Itu berarti setengah jam lagi sekolah ditutup. Entah apa yang masih dilakukan beberapa siswa penting lainnya di dalam sana. Pasti sedang mengurus beberapa event yang akan datang minggu depan, ulang  tahun sekolah.
Aku? Apakah aku juga termasuk dari golongan siswa penting itu? Hmmm.. Mungkin tidak bisa dikatakan begitu. Aku memang tidak bergabung di organisasi yang menuntut keaktifan seperti OSIS, keren seperti anak-anak basket, atau garang seperti anak-anak Tae-Kwon-Do. Hanya saja akhir-akhir ini aku sibuk mengurusi persiapan tim kami mengikuti lomba mading tingkat provinsi yang akan dilaksanakan 3 hari lagi, tepatnya hari Jum’at. Ya, aku tergabung dalam tim mading sekolah. Mading yang pada jaman ini jangankan dibaca, dilirik saja tidak. Mading yang pada jaman ini hanya digunakan sebagai pengganti cermin ‘darurat’ (karena mading kami memiliki kaca dan background gelap) untuk siswi yang baru keluar dari kamar mandi dan entah kenapa mereka belum yakin dengan kejujuran cermin di dalam kamar mandi. Mading yang pada jaman ini kadang dipilih sebagai tempat strategis untuk menempel selebaran-selebaran promosi dari beberapa lembaga bimbel, selebaran promosi lomba ekskul lain, selebaran promosi lomba dari sekolah lain, bahkan selebaran promosi bakso Pak Kabul di kantin, “Beli 2 porsi, gratis 1 mangkuk gorengan.” Yang sialnya selabaran-selebaran itu ditempel di bagian luar kaca mading, menutupi hasil kerja kami mengganti artikel rutin setiap dua minggu. Tapi syukurlah dinas pendidikan mungkin masih menghargai kami, anak-anak mading. Mereka mengadakan lomba mading tahunan di kabupaten dan tahun ini kami berkesempatan unjuk gigi pada tingkat provinsi.
Seharusnya aku tidak perlu pulang se-sore ini jika tidak gara-gara si Audi meminjam motorku untuk ‘beli siomay’. Sekolah hari ini diakhiri pukul 11.00. Hari Selasa, pulang jam sebelas sudah bisa disebut pulang pagi di sekolah kami. Guru-guru memiliki acara yang tidak bisa ditinggalkan, melayat. Salah satu kerabat kepala sekolah meninggal. Namun gedung sekolah ditutup seperti biasa, karena kegiatan ekstrakurikuler pada hari ini masih tetap berjalan. Juga anak-anak organisasi yang langsung terpacu adrenalin mereka saat tahu sekolah diakhiri lebih awal. Ini kesempatan untuk menyelesaikan urusan yang belum selesai, kesempatan untuk merapatkan yang belum dirapatkan, dan kesempatan untuk merumitkan yang belum rumit dalam persiapan HUT sekolah.
Saat bel pulang tadi, aku merapikan buku dan hendak menuju ruang mading. Aku sudah mengumumkan pada 4 orang anggota tim mading lainnya untuk mengerjakan persiapan lomba mading yang masih 60% sepulang sekolah. Aku sempat mendatangi mereka ke kelas-kelas pada jam istirahat. Rina kelas X-4, Ferla kelas XI IPS 2, Arif kelas X-7, dan Audi (tentunya) kelas XI IPA 5, kelas yang sama denganku. Aku hendak melangkah keluar kelas sebelum Audi dengan tiba-tiba menarik lengan kiriku ke belakang pintu. Kerudung putihku koyak, miring ke sebelah kiri karena ditarik tiba-tiba (bersama lenganku).
“Apa lagi?” kataku malas. Aku malas sekali berurusan dengan si rambut panjang ini sejak tadi. Dia sempat meminta ijin padaku, yang merupakan ketua proyek lomba mading, untuk datang terlambat di pengerjaan hari ini. Beli siomay, katanya. Oke baiklah. Aku sudah mengijinkannya pada jam pelajaran terakhir tadi setelah merengek padaku hampir 2 jam pelajaran lamanya dari bangku pojok kiri paling belakang. Dia pasti tidak berniat untuk benar-benar membeli siomay. Aku tidak tahu apa yang dilakukannya tapi dengar-dengar sih dia pacaran dengan mas-mas penjaga warnet di sebelah sekolah. Warnet game online. Pulang pagi, kesempatan buat berduaan lebih lama tanpa diketahui orang tua. Tapi tentu saja tetap diketahui pengunjung warnet lainnya. Bagaimana tidak? Wong pacarannya di belakang meja operator situ.
“Hey, Nat. Aku minta bantuanmu sedikit,” dia melihatku dengan wajah genit-memelasnya.
“Hmmm?” gumamku. Bantuan apa?
“Boleh aku pinjam motormu sebentar saja? Buat beli siomay. Abang siomay yang di depan situ tidak berjualan hari ini. Boleh aku pinjam motormu untuk beli siomay di dekat perempatan sana? Boleh ya..,” rengeknya. Sama seperti jam istirahat tadi. Dia juga merengek seperti ini biar bisa pergi dulu ‘beli siomay’ sebelum mengerjakan mading bersama yang lainnya. Tidak sekali-dua kali Audi ijin untuk ‘beli siomay’ tapi tidak kembali ke markas mading. Tapi kali ini? What? Mau meminjam motorku segala?
“Kamu tahu darimana abang siomay-nya tidak jualan? Kan, kita baru mau keluar sekolah?” aku bertanya menyelidik. Wajahnya berubah sebentar. Bola matanya bergerak ke kanan. Mencari rumput. Mencari alasan. Kemudian dengan sedikit tergugup dia mengatakan bahwa dia sudah mengecek pada jam istirahat tadi, gerobak abang siomay yang biasa berjualan di depan sekolah tidak ada. Aku bersedekap. Menahan rasa kesalku supaya tidak tertumpah semuanya.
“Ayolah, Nata. Kalau aku kembali nanti, kamu dan teman-teman lain aku bawakan siomaynya masing-masing seporsi. Eh...tidak! Satu setengah porsi. Gratis!” serunya dengan mata berbinar-binar sambil menggoyang-goyangkan lenganku. Aku menghela nafas. Demi mendengar kata gratis tadi. Sekolah dipulangkan pagi berarti penjaga kantin dan koperasi sekolah sudah merapikan dagangan mereka daritadi. Tidak peduli dengan beberapa anak ekskul kelaparan yang tersisa. Mending berjualan di tempat lain sampai sore nanti. Dengan terpaksa aku mengiyakan dan menyerahkan kunci motor bergantungan bentuk onigiri milikku, sambil berpesan padanya untuk berhati-hati. Dia berlari senang keluar pintu sekolah menuju parkiran motor di sebelah barat.
Parkiran motor letaknya ada di luar gedung sekolah kami. Sekolah kami adalah sekolah terpadu yang dalam satu lahan terdapat SD, SMP, SMA, dan SMK, namun memiliki gedung yang berbeda-beda. Sore ini parkiran motor terasa lebih jauh dua kali lipat daripada biasanya. Gara-gara kejadian tadi siang. Langkah kakiku berat. Lelah sekali. Teman-teman mading sudah pulang 2 jam yang lalu. Teman-teman bilang, saat aku sedang sholat dhuhur di mushola tadi, Audi kembali. Hanya satu menit, mengembalikan kunci motorku. Tapi karena aku sedang di mushola saat itu, dia memutuskan menaruhnya di meja lantas berpamitan pada teman-teman untuk pulang duluan. Dia bilang ada acara RW. Siapa pula junior mading yang berani terhadapnya? Dia pulang, tidak ada yang berani menahan. Audi hanya takut kepadaku. Oke, mungkin bukan takut. Lebih tepatnya sungkan, karena ibuku teman baik ibunya. Ada kemungkinan aku mengeluhkan hal ini ke ibuku dan ibunya jadi tahu, bukan?
Aku kesal. Aku masih kesal gantungan itu tidak kutemukan. Sial. Siaaaaal.
Aku kembali dari mushola. Melihat ke wajah-wajah Rina, Arif, dan Ferla. Ada sesuatu.
“Ada apa?” tanyaku pendek sambil nimbrung duduk di samping Rina yang menggunting bentuk daun-daunan untuk artikel go-green garapannya.
“Eem.. tadi.. Mbak Audi ke sini, Mbak. Itu kunci motor Mbak Nata sudah dia kembalikan di meja,” jawabnya sambil terus menggunting. Terus menunduk. Memasang wajah penyesalan. Aku paham. Dia kembali tapi hanya sebentar. Juga siomay satu setengah porsi yang dia janjikan tadi, pasti hanya khayalan. Aku menelan ludah, melirik ke atas meja sekretariat di pojokan. Kunci motorku, hanya kunci sekarang. Dimana gantungan kunci onigiri kesayanganku?
Aku melanjutkan mengerjakan mading bersama teman-teman. Aku mencoba mengabaikan gantungan kunci yang tidak kulihat bersama kuncinya di atas meja sana. Mengerjakan dengan tangan dan mata, tapi pikiranku sedang tidak di sana. Menulis judul-judul artikel, menggunting beberapa kertas warna-warni, menempel, menyerahkan pada Rina, mengarahkan Arif membuat ilustrasinya, menghela nafas berat, menahan amarah, setidaknya sampai pekerjaan hari ini selesai. Supaya urusan mading ini tidak terganggu. Tapi Ferla sepertinya menangkapku. Dia sesekali menatapku kasihan. Mungkin dia ikut merasakan lelahnya jadi aku.
Gantungan kunci itu pemberian ayahku beberapa tahun lalu. Hari itu hari ulang tahunku yang ke-12. Itu hadiah terakhir pemberian ayah sebelum beliau pergi. Pergi untuk selamanya. Aku merasa kesal. Aku marah. Aku marah pada Audi. Marah pada diriku sendiri. Untuk apa aku pasang gantungan itu di sana? Jelas sekali kalau gantungan itu terjatuh di jalan, pasti susah menemukannya lagi. Pukul 14.30, teman-teman (yang sebenarnya kelaparan tapi pura-pura tidak lapar saat kusuruh beli camilan di depan sekolah) memutuskan mengakhiri pekerjaan hari ini. Aku sangat tidak bernafsu makan. Aku berkali-kali mengelap muka dengan ujung kerudung. Menahan marah dan lelah membuat keringatku lebih banyak keluar di daerah sini.
Sudah sampai di parkiran motor. Aku menuju ke tempat Pak Maul duduk sambil terkantuk-kantuk. Dia penjaga parkiran motor di sekolah kami. Selalu setia menunggu dan memastikan keamanan kendaraan kami dari pagi hingga pukul lima sore selama enam hari seminggu.
“Pak, saya pamit pulang dulu,” kataku sambil tersenyum kecil, menyerahkan karcis parkir dan menunjukkan Surat Tanda Nomor Kendaraan. Mendengar suaraku, mata Pak Maul langsung terbuka lebar dan memperbaiki posisi duduknya, menerima karcis parkir dariku.
“Eh, baru mau pulang, Mbak Nata? Tidak perlu dikeluarkan STNK-nya. Seperti biasa, Pak Maul sudah hafal sepeda motor Mbak Nata. Tadi dipinjam Mbak Audi kalau tidak salah, ya?” katanya panjang sambil menusukkan karcis parkirku ke papan paku yang diletakkan di mejanya. Tempat menaruh karcis parkir bekas. Aku menjawab dengan anggukan. Masih malas bicara. Aku memang salah satu siswa yang dihafal oleh Pak Maul. Sejak pertama masuk sekolah ini, aku lebih suka pulang belakangan. Menunggu parkiran motor agak sepi dengan menghabiskan waktu di ruang mading atau perpustakaan, mencari bahan untuk artikel mading. Aku memasukkan STNK ke saku baju lantas membalikkan badan untuk menuju ke motorku di ujung tempat parkir. “Mbak Nata! Sebentar, Mbak!”
Sontak aku menoleh ke arah Pak Maul lagi. “Ada apa, Pak?”
“Ini. Ada titipan buat Mbak Nata,” Pak Maul berjalan menyusulku. Membawa amplop kecil berwarna biru muda dengan tulisan NATASYA NIRWANA / XI IPA 5 di tengahnya yang diketik menggunakan font Calibri yang dimiringkan. Alisku mengkerut. Ini amplop kedua.

(to be continued)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kasih masukan aja gak papa. Tambahin pendapat juga gak papa. Kalo ada pendapat lain sampein aja. Kritik aja juga gak papa. Terserah mau nulis apa deh, biar rame. Oke? *peluk cium dari header*