Jumat, 22 April 2016

Generalisasi yang Spesial

Kita adalah makhluk spesial. Iya spesial karena di muka bumi nggak ada yang nyamain kita. Meskipun sama-sama manusia, pasti ada aja yang beda. Secara umum dulu deh, kira-kira kayak video ini:


Hehehe. Seru videonya #jareku

Nah, dari video itu (yang sebenernya purposenya adalah Bhinneka Tunggal Ika) kita bisa tau bahwa habit orang satu dengan orang lainnya berbeda-beda bahkan dari hal yang paling sepele. Hal lainnya yang bikin kita beda apa? Gen? Iya gen juga beda-beda. Tapi mungkin tidak pada fenomena kembar identik (dengan catatan salah satu tidak mengalami mutasi genetik). Sidik jari akan berbeda. Sifat dan kebiasaan kita pun ada saja yang berbeda. Tidak ada manusia di bumi ini yang diciptakan benar-benar sama. Pasti banyak dari kita yang sudah mengetahui hal ini.

kembar? mirip? mirip tapi beda
Dari fakta ini, ada kebingungan yang saya rasakan dari paradigma yang berlaku di masyarakat. Banyak masyarakat yang terus menuntut hak-hak keadilan, hak-hak kesetaraan. Meminta hak untuk diperlakukan sama. Pada aspek pendidikan pun juga seperti itu. Dari kuliah dulu saya mikirin ini, dan masih mikirin sampe sekarang. Guru harus adil terhadap siswa. Semua siswa harus diperlakukan sama agar tidak timpang. Tidak ada yang di-anak-emas-kan atau di-anak-tiri-kan, karena sama-sama sekolahnya. Sama-sama bayar, katanya.

Tapi bukankah setiap orang itu spesial?

Setiap siswa pernah dibesarkan di keluarga masing-masing yang pastinya tidak akan sama persis satu sama lain (meskipun bersaudara pun, bahkan saudara kembar-pun pasti tidak akan sama pengalamannya). Setiap siswa memiliki masalah sendiri. Setiap siswa memiliki keunggulan dan kesulitan sendiri-sendiri. Lalu bagaimana bisa kita memperlakukan mereka dengan ‘sama’? Jika salah satu siswa pandai diberi nilai A oleh guru dan anak yang tidak terlalu pandai juga diberi nilai A, si siswa pandai akan merasa hal tersebut tidak adil baginya. Mengapa? Karena siswa tersebut tidak lebih pandai daripada dia, dan nilai-nilai kesehariannya juga tidak lebih bagus daripada dia. Itu tidak adil.


Jika hanya aspek ‘mudah mengerti’, ‘bisa mengerjakan soal dengan baik’, dan ‘nilai sehari-hari bagus’ yang digunakan secara umum untuk menentukan nilai akhir seorang siswa, tentu saja masalah tadi bisa disebut tidak adil. Namun bukankah setiap orang itu spesial? Aspek lain seperti kerajinan, kemauan untuk belajar, tingkah laku, attitude siswa juga bisa mempengaruhi perlakuan dan penilaian guru, lho. Pada awalnya siswa tersebut tidak terlalu paham, namun dia menunjukkan kemauannya untuk belajar, kemauannya untuk bisa memahami. Dari usaha siswa tersebut, perkembangan siswa tersebutlah akan guru beri penghargaan berupa nilai A. Itulah guru yang menghargai proses. Dan hal tersebut tidak dapat disama-ratakan. Karena proses setiap orang pun berbeda-beda.

Saya pun tidak mau munafik. Saya sendiri kadang me(maksa)minta buat diperlakuin sama dengan kembaran saya di rumah. Terutama urusan pekerjaan rumah tangga. Kadang saya ngerasa saya terus yang ‘dikasih job’ buat bersih-bersihin rumah, beli keperluan ini itu, dan lain-lain. Dan nggak sekali aja saya meledak bilang ‘kok aku terus, sih?’ Padahal dengan bilang kayak gitu, secara nggak langsung saya minta ‘kesetaraan’. Saya lupa kalo saya spesial. Kali aja ibu saya kasih saya lebih banyak job karena keliatannya saya yang lebih berbakat (buat jadi IRT).

Di kantor pun juga sama. Pasti secara nggak langsung kita pernah mikir, “kok si ini dibaik-baikin banget sama si bos? Aku sama yang lain nggak pernah digituin.” Nah, secara nggak langsung kita juga menyalahi fakta awal tadi. Mungkin bosnya mikir kita nggak perlu dibaik-baikin macam itu karena kerjaan kita udah bener. Terus bulan depan mau dinaikin grade-nya. Amin. #ngarep #bukankisahnyatalho #fiktif

Kita lahir dan berproses pada lingkungan berbeda. Saling menghargai perbedaan pendapat dan pola pikir-lah yang menjadi kunci kebersamaan dan kenyamanan.
Dan satu lagi, kesetaraan gender. Kalo dipikir-pikir emang ada baik buruknya. Cuman menurut saya saat ini kok.....gimana sih. Malah minta disamain. Padahal jelas-jelas beda. Sexist itu emang harus. Contoh nih, boncengan naik motor aja bakal aneh kalo cewek yang boncengin cowok. Lebih bener keliatannya kalo cowok yang boncengin cewek, kan? Ya karena spesial. Buat masalah hidup pun juga gitu. Cowok kerja, cewek bersih-bersih rumah. Emansipasi? Ya emansipasi juga gapapa. Boleh cewek-cewek ikut kerja juga, cuman kalo bener-bener mentok nggak ada pilihan lain. Gitu kali ya~ Ah entahlah~ Tiap orang beda-beda sih #baliklagi #masihpengenkerja

Hal sebaliknya juga kejadian. Selain kita yang minta buat diperlakuin sama, secara nggak langsung kita juga suka menggeneralisasikan kelompok tertentu. Misalnya kayak gini, “Oh, anak situ. Yang sekolah di situ emang pinter-pinter, sih.” Atau, “Foto syur gitu kok gak malu, sih. Emang sekolah di SM* *, sih. Pantes....” (yang ini kejadian kemarin di kelas, pas salah satu siswa lagi ‘rasan-rasan’)

*senyum bentar*

Gimana sih? Malah nyalahin kelompok. Malah nyalahin lembaga. Dan saya paham banget bahwa generalisasi kayak gitu nggak dilakuin sama anak-anak SMA saja, orang dewasa pun juga suka menggeneralisasikan kelompok tertentu. Padahal? Semua orang kan beda-beda. Di sekolah favorit pun ada anak yang nggak pinter. Ada anak yang males. Di sekolah pinggiran pun, ada anak yang rajin. Ada anak jenius. Ada anak alim. Semuanya tergantung orang masing-masing.

Kayak gini juga, “Jangan nikah sama polisi, suka main cewek katanya.”

Ya itumah polisi nakal! Yang nggak nakal juga ada. Intinya? Tergantung orang masing-masing. Dosen juga bisa mainin cewek. Mahasiswa juga ada. Pengusaha juga ada kok yang mainin cewek.
Sebut saja semua mantannya, Ep.
#sorrysorry #kelepasan #gomenasai *senyum kilat*


Menurut saya sih, yang penting sekarang adalah bagaimana kita memperlakukan diri kita dan semua orang dengan adil. ADIL di sini mungkin adalah memperlakukan secara khusus. Bukan salah satu aja yang diperlakuin khusus, tapi semua orang harus diperlakuin secara khusus. Ya jadi gitu, generalisasiin kalo kita spesial *wink* karena tiap orang beda-beda. Huahahaha. Belajarlah. Kita pun harus paham bahwa setiap orang lahir dengan gen berbeda, tumbuh dengan karakter berbeda, dan berkembang dalam proses yang berbeda pula. Mari kita coba untuk membuka mata membuka hati. Belajar terus untuk memperbaiki diri, memperbaiki tindakan kita terhadap orang lain, dan memperbaiki respon kita terhadap apa yang orang lain lakukan. Banyakin sabar deh. Innallaha maassobirin. :*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kasih masukan aja gak papa. Tambahin pendapat juga gak papa. Kalo ada pendapat lain sampein aja. Kritik aja juga gak papa. Terserah mau nulis apa deh, biar rame. Oke? *peluk cium dari header*