Rabu, 21 September 2016

The Green Stuff On The Teeth

Halo
Hai
Halo
Selamat pagi
Selamat siang
Selamat sore
Selamat malam

Maaf, jarang posting. Jadwal mengajar semakin banyak dan berbanding lurus dengan jadwal mempersiapkan pernikahan (yang akhirnya batal). Hiks. Gapapa. Santai.

Anu guys. Saya bingung mau mulai darimana. So....

Pernahkah kita berada di suatu kondisi saat kita baru menyadari bahwa apa yang selama ini kita percaya, kita yakini, kita lakukan, ada cela-nya? Kondisi saat orang lain pointed out cela kita? Dosa kita? Atau yang paling remeh, kebiasaan yang menurut kita biasa saja tapi ternyata dianggap buruk oleh yang lain? Semacam prang (suara gelas pecah), pertahanan akan keyakinan kita hancur saat orang lain mengatakan hal (bisa fakta atau opini) bahwa itu salah. Itu dosa. Itu gak baik. Ganggu banget. Pernah?



Mungkin peribahasa "kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak" itu benar. Bukan mungkin, sih. Tapi memang benar adanya. Sering kejadian. Itu juga kenapa kita diminta buat berserah diri pada Allah minimal lima kali sehari. Selain buat "curhat", juga buat refleksi. Bukan pijat ya, tapi refleksi diri. Benar-benar antara diri dan sang Pencipta saja. Tidak ada yang lain. Itupun kadang juga sering ada luputnya. Kadang shalat ya asal shalat saja. Tidak tuma'ninah karena dikejar waktu atau (yang katanya) kewajiban penting lainnya.

Oke back to the topic. Kalau dari saya, mungkin cela yang dibilang orang tadi sama seperti the green stuff on the teeth. Iya, ijo-ijo di gigi. Abis sarapan sayur bayem, bayemnya dibanyakin, eh gak tau kalo ada bayem yang nyangkut di sela-sela gigi. Terus keliatan gitu kalo dipake ngomong. Baru sadar di siang hari saat jam istirahat siang dan kebetulan ngecek muka apa tambah kinclong setelah sholat dhuhur.

"Lhoh? Itu apaan?" *sambil buru-buru ambil ijo-ijonya*
"Duh daritadi ngomong sama siapa aja, ya?" *sambil mikir-mikir*
"Kok nggak ada yang bilang, sih? Dibiarin aja aku kayak gini? Pada jahat banget." *mulai nyalahin orang*

Saya sepertinya sering di kondisi seperti itu. Bukan, maksud saya bukan kondisi makan sayur bayem terus nempel sisa bayem atau cabe di gigi. Tapi saya melakukan hal yang tidak sepantasnya tapi saya sendiri tidak menyadarinya. Mungkin bukan saya saja, ya. Mungkin umum dialami oleh semuanya, tapi yaaaa entahlah sih. Haha. Kalau saya sendiri mungkin bisa dari tone bicara saya. Entahlah, sering fals. Sering bikin orang salah paham. Dan memilih pasangan juga. Udah dibilang jangan sama yang itu, tapi ngotot nerusin sama yang itu. Kan gini jadinya. #eh #malahcurhat

Saudara kembar saya, adalah orang yang sering mengingatkan kalau ada ijo-ijo di gigi saya (kali ini ijo-ijo beneran). Saya pun juga gitu. Karena kami sama-sama paham kalau itu harus diomongin. Mungkin alesannya, saya ikut malu kalau dia malu-maluin. Dia juga sebaliknya! Hahaha! Nggak, jadi setiap kali kami mengritik satu sama lain, selalu diberikan solusi yang baik (meskipun kadang ada yang nggak terima). Kenapa? Karena kita mengritik untuk membangun. Bukan asal.

Nah, sekarang coba kondisinya dibalik. Kalau kita liat teman atau seseorang yang lain punya green stuff on their teeth, apa yang bakal kita lakukan? Bilang? Atau nggak?

Katanya sih, kalau sayang ya bilang.

Haha, maksud saya kalau itu baik untuk teman kita, kita harus bilang? Supaya mereka bisa improve atau memperbaiki kebiasaan buruk itu (contohnya saya tadi mengubah tone bicara jadi lebih lembut dan lemah gemulai kayak cewek tulen). Tapi?

Tapi..................

Ada dua kemungkinan lagi kalau kita mengatakannya pada yang bersangkutan.
Satu, dia berterima kasih pada kita karena kita mengatakannya untuk kebaikan dia. Dan dia mulai improving.
Dua, dia malah jadi down. Iya, karena dia baru tahu bahwa yang dia jalani dan yakini selama ini salah. Tapi sebenarnya yang kedua bisa dihindari dengan memberikan solusi yang pas dari kita guys. Nah! Ini.....yang susah. Tergantung kita mau mikirin solusinya juga atau nggak. Kalau kita teman yang baik, ya kita pikirkan juga dong. Mau memberi kritik tanpa solusi buat bantu temen kita improve? Ya untuk apa. Membuang-buang energi kita, dan bisa jadi mutus tali silaturahmi. Dan harus diingat, untuk apa kita mengkritik, jika tujuannya hanya untuk membuat orang lain merasa buruk? Mungkin gitu sih.