Langsung saja biar nggak kepanjangan, beberapa hari
lalu saya marah sekali. Baru juga ganti tahun. Tapi gini. Emosi. Marah. Seperti semua feeling dan darah direbus
sampai mendidih. Bunyi ‘nguuuuuuukkkkkkkkk.......’ kayak mas-mas jualan putu
lewat. Kemudian beberapa saat kemudian, saya menyesal. Menyesal sekali.
Muenyuesual.
Iya, kita semua pasti pernah mengalami kejadian semacam ini. Emosi. Mungkin karena pengendalian ego yang masih nggak bisa bener-bener juga. Sebagian bilang kalau orang yang masih tinggi ego-nya, itu belum dewasa. Ah, kata siapa. Ego itu turun naik. Kalau lagi turun, gampang banget ngendaliin emosinya. Kalau lagi naik, wah.... Emangnya orang dewasa nggak pernah marah? Pernah banget. Bukan berarti mereka nggak dewasa, kan. Itu karena egonya lagi naik aja. Mungkin ya.
Dari sini saya juga menyadari, bahwa pada saat ego
kita lagi naik, otak kita jadi gelap. Kayak ruangan yang lampunya mati. Gelap.
Surem. Kita nggak bisa liat apa-apa di ruangan gelap kan? Bayangkan dalam
sebuah ruangan yang dipenuhi dengan hal-hal yang bermanfaat juga hal-hal yang
tidak bermanfaat (malah bisa jadi buruk), lampunya mati. Kita mau mengambil
sesuatu juga susah. Tidak bisa membedakan mana yang bermanfaat mana yang tidak.
Cuma bisa meraba-raba saja. Kadang bener, kadang zonk!
Sama seperti di otak kita yang lagi gelap karena
ego tinggi tadi. Mungkin ada kalimat-kalimat dari seseorang yang bikin agak
‘clekit’, kita masih bisa menahan. Tapi situ lampu di otak kita mulai korslet. Mulai kedap-kedap, mati-menyala. Kayak lampu
yang dihubungin ke larutan elektrolit lemah. Nah pada saat itu udah
remang-remang. Udah mulai mercing dan nyungir (mincingin mata sambil
gede-gedein lubang hidung) untuk membedakan hal-hal bermanfaat dan tidak.
Sampai pada saat tertentu, karena kita udah mulai
kayak warung remang-remang di pinggiran JLT (Jalur Lintas Timur) situ, orang yang
sebenernya maksudnya baik buat nyemangatin kita untuk MOVE ON (inget risoles taun 2016 nya), tapi petttttt. Lampunya
mati. Udah bener-bener nggak bisa bedain mana baik mana buruk. Semua kata-kata
menyakitkan keluar, meskipun nggak sampai keluar sumpah serapah yang biasanya
diucapkan orang-orang ketika marah. Kalimat2 sindiran. Kalimat2 pedas yang sebenernya kita sendiri tahu, kalau kalimat itu ditujukan untuk kita, hati pasti terasa sakit sekali. Tapi anehnya kita mengucapnya tanpa rasa bersalah, pada awalnya. Yang sakit hati memang kita, tapi kenapa pula harus membalas, menyeret-nyeret hati yang tidak bersalah untuk merasakannya juga?
Beberapa menit berlalu. Udah mulai atur nafas.
Terus sadar. Lampunya nyala lagi ketika denger suara adzan. Duh. Apaan ini,
sih? Tadi itu apa??
Ya, lagi gelap itu, bang.
Jadi, jaga lampu di otak kita tetap menyala. Karena
itulah sumber penerangan dimana kita harus mengambil keputusan, menentukan,
bertindak, dan bersikap. Saya minta maaf untuk anda yang saya sakiti dengan
perkataan saya. Lagi gelap. Keliatannya mungkin ingin menunjukkan, ‘aku
se-sakit ini, loh!’, tapi itu memang cuma lagi gelap aja. Memangnya ada
manfaatnya? Enggak! Dan saya menyesal. Menyesal juga nulis artikel ini, sih. Ah,
tapi nggak papa udah terlanjur juga.
Coba-lah kita juga belajar maklum sama orang yang
ego-nya lagi naik. Mungkin dia lagi melewati hari yang buruk, guys. Mungkin
lagi gelap aja. Kalaupun kita coba menyadarkan dia tapi lampunya nggak
nyala-nyala, berdoa aja. Allah yang akan menyalakannya. Amin.
Terima kasih juga untuk penerangannya om
@edi_akhiles, penulis buku “Rogoh Ah.... Kelakuan Aku, Kamu, dan Dia”. Artikel
ini saya tulis berdasarkan ulasan beliau di buku tersebut. Recommended. Dan
alhamdulillah. Semoga bermanfaat. Ini bukan curhat loh. Tapi curhat juga, sih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kasih masukan aja gak papa. Tambahin pendapat juga gak papa. Kalo ada pendapat lain sampein aja. Kritik aja juga gak papa. Terserah mau nulis apa deh, biar rame. Oke? *peluk cium dari header*