Sabtu, 16 Januari 2016

Bapak Berrompi Hijau Itu

Sore itu saya baru selesai mengajar di bimbel tempat saya bekerja. Waktu menunjukkan pukul 17.40 ketika itu, saya mengemudikan motor saya untuk mampir sebentar di Ind*maret sebelah kantor. Dua hari setelah itu, saya akan melakukan perjalanan ke kota Jogja sendirian. Jadi saya pikir perlu-lah saya belanja sedikit untuk jaga-jaga camilan dan obat yang mungkin saya perlukan untuk ke Jogja. Saya belanja pada hari itu karena besoknya saya mempunyai jadwal mengajar yang padat, dari pagi sampai sore hari. Sehingga saya sempatkan hari itu untuk belanja keperluan saya sepulang kerja.

Saya masuk ke dalam mini market tersebut dan mengambil beberapa jajanan (iya, memang suka jajan), satu botol fresh tea apel, vitacimin, dan satu botol UC1000 rasa lemon. Setelah mengambil beberapa belanjaan lainnya, saya melangkah ke kasir. Ada dua orang di antrian kasir tersebut. Dan seperti biasa, antriannya nggak jelas. Sebenernya di indom*ret ini antriannya ke arah mana? Tegak lurus sama meja kasir atau sejajar? Saya sudah pernah menegur kasir indomaret beberapa minggu yang lalu, karena nggak jelas gini. Waktu itu sedang ramai, antrian saya diserobot terus. Kasirnya diem-diem aja. Akhirnya saya tegur untuk lain kali mengarahkan pembeli dalam mengantri.

Dan lagi-lagi sekarang antriannya juga nggak jelas, meskipun cuma ada dua orang, tapi cukup menyulitkan saya mau berdiri buat ngantri di sebelah mana dari mereka. Saya berdiri kebingungan di belakang perempuan yang belanja bulanan dan bapak paruh baya yang memakai rompi hijau neon seperti petugas parkir. Dan saat saya hendak membuka mulut buat tanya sama mbak kasirnya, tiba-tiba bapak berrompi hijau tersebut menoleh ke arah saya sambil tersenyum. Beliau tersenyum hangat sekali, agak mendongak, karena sepertinya saya lebih tinggi daripada beliau, mengingatkan saya pada almarhum pakdhe saya.


"Sini, mbak," beliau menyilakan saya untuk berdiri di sebelah kirinya. Saya balas tersenyum sambil mengangguk dan maju dua langkah untuk berdiri di sebelah kiri bapak itu. Ternyata antriannya sejajar dengan meja kasir. Oke. Masih menunggu belanjaan bulanan mbak-mbak tadi selesai ditotal. Saya perhatikan bapak itu, menunggu dengan sabar. Sedangkan saya tadi hampir emosi karena posisi antrian yang nggak jelas. Selesai ditotal dan bayar, bapak berrompi hijau tadi mengambil satu langkah ke kanan. Meletakkan belanjaannya yang cuma 5 bungkus indomie berbagai rasa dan susu peninggi badan remaja, HiLo Teens. Sambil ditotalin, si mbak indom*ret mengajak bapak tersebut berbasa-basi.

"Tambah apalagi, Pak?" bapak berrompi hijau menggeleng. Masih dengan senyum hangatnya. Kemudian beliau mengeluarkan gulungan kecil uang kertas 2000an. Beliau mulai sibuk menghitung.

"Baru pulang ya, pak?" tanya mbak kasirnya lagi sambil scanning barcode  dari HiLo Teens belanjaan bapak tersebut. Bapak berrompi hijau itu menghentikan kegiatan menghitung uangnya sekilas.

"Iya," masih tersenyum.

"Totalnya enam puluh tiga ribu tiga ratus rupiah, Pak," mbak kasir membacakan total uang yang harus dibayar bapak tersebut. Saya perhatikan beliau, tadi sudah selesai menghitung uangnya. Tapi kemudian mukanya tampak kebingungan sekilas. Beliau mengeluarkan segulung uang 2000an lagi yang diikat karet gelang dari saku celananya. Beliau membuka ikatan karet tersebut. Rupanya gulungan uang yang tadi belum cukup untuk membayar belanjaannya. Saya perhatikan dengan seksama bapak itu. Masih terlihat sisa-sisa keringat di pelipisnya. Mungkin uang tersebut juga uang hasil menjaga parkir dari pagi tadi. Bapak berrompi hijau tersebut kemudian melirik saya, saya senyumin seperti bapak itu senyumin saya di awal bertemu tadi.

"Sebentar ya, mbak. Saya hitung ini dulu di sebelah sana. Biar mbak ini dulu saja. Maaf ya, mbak," bapak tersebut tiba-tiba melangkah ke arah kanan kasir, dekat pintu masuk. Beliau rupanya merasa tidak enak untuk memperlambat jalannya antrian (yang mulai panjang di sebelah saya) karena harus menghitung uangnya yang 2000an tadi untuk membayar. Saya pikir, 'ya ampun... bapak ini. Saya bahkan tidak memberikan tanda-tanda keberatan.' Trenyuh sekali saya kala itu, karena ternyata there's still very nice person in the world. Maksud saya jarang sekali ditemukan orang yang keren seperti beliau. Malah orang yang 'berpunya' yang sepertinya kurang sopan santun, serobot antrian seperti beberapa minggu yang lalu.

Setelah jadi pengamat yang baik dan membayar di kasir, saya keluar dari mini market tersebut. Si bapak masih belum selesai menghitung lembaran uang 2000annya. Di luar, saya dapati motor saya ternyata tidak bisa keluar. Ada beberapa motor lain yang menghalangi. Beberapa menit kemudian barulah saya bisa mengeluarkan motor saya dari parkiran. Sebelum saya tancap gas, saya sempatkan menengok ke dalam mini market. Bapak berrompi hijau itu keluar membawa barang belanjanya (yang cuma indomie dan susu tadi). Beliau melangkah menuju sepeda motor tua yang ditumpangi seorang anak laki-laki usia belasan di atasnya. Sepertinya masih SMP.

"Dapet, Pak?" tanya anak itu pada si Bapak.

"Iki! (ini!)" bapak berrompi hijau mengangkat kantung plastik berisi indomie dan susu itu dengan senyumnya yang lebih lebar daripada senyum yang saya terima di dalam tadi.

Saya tancap gas pulang.

Saya nangis di jalan pulang. Iya nangis di motor.

Kenapa? Cengeng.

Lihatlah bapak itu, rela hanya membeli mie instan saja untuk makannya beberapa hari ke depan supaya anak remajanya tadi mendapat nutrisi yang baik untuk pertumbuhannya. Bisa dihitung sendiri berapa harga 5 bungkus indomie? Dari Rp63.300,00 tadi, mungkin hanya sekitar 14 ribu-nya. Sisanya adalah yang harus dibayarkan bapak itu untuk susu HiLo Teens. Dan kesemuanya itu dibayarkan dengan lembar-lembar uang 2000an hasil bapak tersebut menjaga parkiran. (just assuming dari rompi bapaknya)

Lalu?

Lalu untuk apa selama ini kita kurang bersyukur? Kita pun memiliki orang tua yang selalu concern dengan hidup kita, kesehatan kita, pendidikan kita, pekerjaan kita. Bahkan mungkin perjuangan orang tua kita juga sebenarnya lebih sulit dari kelihatannya. Tapi mereka tetap berjuang untuk kita. Mereka selalu ingin yang terbaik untuk kita. Mereka adalah malaikat yang dikirim Tuhan ke dunia fana untuk kita. Sayangi mereka. Cintai mereka. Patuhi mereka. Dengarkan semua kata-kata mereka. Muliakan hidup mereka. Doakan mereka supaya selalu mendapat termpat terbaik di sisi-Nya kelak. Jangan lupakan mereka (emangnya amnesia?). Udah. Speechless

I love you, Mom. Dad. *peluk cium*

3 komentar:

  1. tapi kalok aku lo sampek pengen kumpul sama ortu saya mbak

    BalasHapus
  2. sangking enak'nya baca sampek nggak kerasa kalok air mata ku menetes

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe semangat bahagiain mereka ya, pit. (y)

      Hapus

Kasih masukan aja gak papa. Tambahin pendapat juga gak papa. Kalo ada pendapat lain sampein aja. Kritik aja juga gak papa. Terserah mau nulis apa deh, biar rame. Oke? *peluk cium dari header*