“Pak, rokoknya mbok ya dikurangin, Pak. Kesehatannya,
lho,” saya menatap sekilas ke arah Bapak. Bapak yang saya bilangin, masih
santai menghisap rokoknya. Sambil tetap memandang ke depan. Pagi itu kami
duduk-duduk di teras. Kembaran saya duduk di kursi sebelah Bapak, sedangkan
saya duduk di lantai, bersandar pada tiang besi bercat hijau, sambil asyik
motongin kuku. Kebiasaan merokok Bapak kami memang bisa dibilang parah. Dalam
satu hari beliau bisa menghabiskan lebih dari 2 kotak rokok Su**a, termasuk
merk rokok untuk perokok berat (katanya sih).
Hening sesaat. Kami tahu Bapak sangat tidak suka
ketika kami menyinggung bahasan ini. Jika sudah begini, kadang Bapak yang
sedang menikmati hangat dan sepetnya rokok, langsung pindah tempat menjauh dari
kami. Dengan tersenyum kecut, bilang, “Sudah tahu Bapak merokok, kenapa
dekat-dekat?”
Tapi tidak untuk pagi itu. Bapak melanjutkan
kegiatan merokoknya sebentar. Saya melanjutkan memotong kuku sebentar. Kembaran
saya entah duduk sambil ngelamun apa.
“Ini juga sudah dikurangin,” kata Bapak tiba-tiba.
Kami berdua langsung menoleh, memperhatikan dengan mata berbinar.
“Bener?” tanya kembaran saya.
“Iya. Kemarin cuma habis 1 kotak,” dengan nada
menggantung, Bapak kembali menghisap rokoknya. Kami masih menunggu lanjutan
kalimatnya. “Hari ini setengah kotak.”
“Wahhh...,” saya tambah excited.
“Besok nggak ngerokok,” lanjut Bapak.
Kami berdua semakin berbinar. Akhirnya Bapak sadar,
Ya Allah.
“Besoknya lagi 2 kotak. Mbales.”
Gubrakkkkk!
(membalas hutang yang kemarinnya nggak ngerokok.
Rokok itu hutang meeeen)
Kami bertiga tertawa kencang-kencang. Bapak ada-ada
saja. Kami terlanjur berbinar, terlanjur senang, ternyata harapan palsu. Tapi
itulah Bapak kami. Perokok berat. Tidak ada lagi yang bisa kami katakan, jadi
kami lanjutkan tertawa. Kami sayang sama Bapak. Andai saja Bapak mengerti kalau
rokok bisa merusak kesehatan.....hei, tentu saja Bapak mengerti!
Kadang memang seperti itu. Kita tahu, ada beberapa
hal tidak baik yang sebaiknya tidak kita lakukan. Tapi apa? Ya tetap kita
melakukannya. Contohnya seperti merokok tadi.
Saya kuliah di jurusan kimia. Tentu saja saya
sering mencari tahu atau kepo tentang rokok ini. Nggak susah juga mencarinya.
Bahkan sekarang di poster-poster yang ditempel di sekolah/kampus pun kita bisa
tahu bahwa rokok mengandung ratusan ribu senyawa kimia berbahaya. Saat saya
masih SMA dulu-pun pernah melakukan percobaan untuk mengetahui berat ampas
rokok yang masuk ke paru-paru yang terkandung dalam 1 batang rokok. Jadi
rokoknya itu dihubungin ke selang, masuk ke tabung yang berisi kapas putih. Di
akhir eksperimen, kita dapati kapas itu berwarna hitam legam. Astaga, Pak. Ini
masih kapas, bukan paru-paru yang dipake buat merokok selama berpuluh-puluh
tahun.
Saya mulai cari-cari video di youtube tentang
bahaya rokok, gambar-gambar paru-paru perokok berat, dan lain-lain yang
serem-serem. Pada jaman itu masih belum ada gambar serem di bungkus rokok. Dan
apa yang Bapak katakan pada saya kala itu?
“Sepertinya Bapak salah nguliahin kalian di
fakultas MIPA.”
Ya memang gitu, seh. Sebenarnya Bapak juga tahu
kalau merokok itu nggak baik. Tapi kenapa nggak berhenti?
Bagaimana cara kita berhenti buat
main sosmed? Sebagian besar dari remaja Indonesia pasti tidak bisa hidup tanpa
sosial media seperti facebook, bbm, twitter, instagram, path, dan lain-lain.
Kebanyakan masih belum mengerti dampak positif dan negatifnya, tapi sebagian
sudah paham. Bahkan saya juga, nggak munak ya, nggak bisa jauh-jauh dari
sosmed. Posting sana posting sini, upload sana upload sini, bocor sana bocor
sini. Saya sadar kadang saya berlebihan. Saya ingin berhenti. Tapi caranya?
Mungkin sama juga kasusnya dengan
mereka yang kecanduan game online. Pasti ada dampak positif dan ada dampak
negatifnya. Karena saya belum pernah ‘mencoba kecanduan’ game online, jadi saya
tidak tahu dengan pasti dampak-dampaknya. Tapi dari beberapa teman yang curhat
ke saya, ada sebagian dari mereka yang ingin berhenti. Mereka tahu, dampak
bermain game terus-terusan ini tidak baik untuk kelangsungan hidup mereka.
Bukan berarti mereka bisa punah, ya. Tapi eksistensi mereka di dunia nyata jadi
berkurang. #eaaa Sampai ada seseorang yang bertanya kepada saya, bagaimana cara
berhenti main game?
Sampai kemudian saya menemukan
jawaban dari semua pertanyaan ini.
Bagaimana cara berhenti?
Sebenarnya kita semua sudah tahu.
Caranya berhenti ya berhenti saja. Berhenti merokok? Ya jangan beli rokok.
Berhenti main sosmed? Ya uninstall aplikasinya. Berhenti main game? Ya cabut
colokannya. Selesai.
“Tapi sulit, mbaaaakkk...,”
begitu komentar salah seorang murid saya di tempat les.
Memang sulit, tapi bukankah itu
memang caranya? Kita tahu, tapi kenapa kita seakan buta? Jika kita benar-benar
ingin berhenti, benar-benar berniat berhenti, kita pasti bisa melakukannya.
(ps: saya udah uninstall Path, Foursquare, Vine, Soundcloud >> way to go!
^^ Selanjutnya uninstall bbm?)
Nah. Pertanyaannya: apakah ini
juga berlaku saat kita hendak memulai sesuatu? Caranya memulai ya memulai saja?
Kemarin ada siswa yang bertanya
kepada saya, bagaimana cara dia bisa bergairah lagi untuk belajar kimia. Saya
bingung dan jawaban saya sepertinya tidak memuaskan. Bagaimana, ya? Saya
sendiri juga bingung. (ngerasa jadi guru gagal). Karena seperti ini: ketika
saya sebagai siswa dan mahasiswa dulu, saya pasti PERNAH mengalami keBOSANan
belajar. Yang saya lakukan kemudian? Ya tidak usah belajar. Saya isi kegiatan
lain, yang kadang bermanfaat tapi kadang juga tidak. Nonton TV, nonton film,
ngrumpi, baca novel, browsing, (belum jadi anak nongkrong dulunya). Tapi
kemudian saya juga sadar bahwa saat itu peran saya di dunia ini adalah sebagai
siswa/mahasiswa. Saya harus belajar. Itu sudah kewajiban. Maka setelah saya
melakukan kegiatan selingan tersebut, saya belajar. Meskipun sebentar. Ini
mungkin tergantung dari niat individu. Memasuki usia dewasa ini, seharusnya
kita sadar dan cukup dewasa untuk mengerti apa yang harus dilakukan dan
dikerjakan sesuai dengan peran kita.
Itu, sih, saya, ya. Tiap orang
mungkin berbeda-beda. Tergantung dari niat dan kesadaran dari individu
masing-masing. Jadi sampe sekarang sebenernya saya juga masih cari solusi buat
dorong bapak ngurangin merokok. Sulit. Karena mungkin itu harus dari niat bapak
sendiri untuk berhenti. Dari niat di sendiri. Mau belajar? Ya belajar aja. Mau
nulis blog? Ya nulis aja. Mau berhenti main sosmed? Ya berhenti aja. Semacam
mau sholat tapi kita cuma ngomong, “duh, belum sholat.” Enggak. Harusnya mau
sholat ya sholat aja. Mungkin gitu sih.
bapak'nya mean itu bener mbak kan udah ada pepatah merokok mati tidak merokok mati lebih baik merokok sampek mati wkwkwkwk
BalasHapusDiawur ae -___-
Hapusmaklum mbak ayahe mean sama kayak aku pecandu rokok
BalasHapus