Jumat, 15 Januari 2016

How To (...)

“Pak, rokoknya mbok ya dikurangin, Pak. Kesehatannya, lho,” saya menatap sekilas ke arah Bapak. Bapak yang saya bilangin, masih santai menghisap rokoknya. Sambil tetap memandang ke depan. Pagi itu kami duduk-duduk di teras. Kembaran saya duduk di kursi sebelah Bapak, sedangkan saya duduk di lantai, bersandar pada tiang besi bercat hijau, sambil asyik motongin kuku. Kebiasaan merokok Bapak kami memang bisa dibilang parah. Dalam satu hari beliau bisa menghabiskan lebih dari 2 kotak rokok Su**a, termasuk merk rokok untuk perokok berat (katanya sih).

Hening sesaat. Kami tahu Bapak sangat tidak suka ketika kami menyinggung bahasan ini. Jika sudah begini, kadang Bapak yang sedang menikmati hangat dan sepetnya rokok, langsung pindah tempat menjauh dari kami. Dengan tersenyum kecut, bilang, “Sudah tahu Bapak merokok, kenapa dekat-dekat?”

Tapi tidak untuk pagi itu. Bapak melanjutkan kegiatan merokoknya sebentar. Saya melanjutkan memotong kuku sebentar. Kembaran saya entah duduk sambil ngelamun apa.

“Ini juga sudah dikurangin,” kata Bapak tiba-tiba. Kami berdua langsung menoleh, memperhatikan dengan mata berbinar.

“Bener?” tanya kembaran saya.

“Iya. Kemarin cuma habis 1 kotak,” dengan nada menggantung, Bapak kembali menghisap rokoknya. Kami masih menunggu lanjutan kalimatnya. “Hari ini setengah kotak.”

“Wahhh...,” saya tambah excited.

“Besok nggak ngerokok,” lanjut Bapak.

Kami berdua semakin berbinar. Akhirnya Bapak sadar, Ya Allah.

“Besoknya lagi 2 kotak. Mbales.”

Gubrakkkkk!
(membalas hutang yang kemarinnya nggak ngerokok. Rokok itu hutang meeeen)

Kami bertiga tertawa kencang-kencang. Bapak ada-ada saja. Kami terlanjur berbinar, terlanjur senang, ternyata harapan palsu. Tapi itulah Bapak kami. Perokok berat. Tidak ada lagi yang bisa kami katakan, jadi kami lanjutkan tertawa. Kami sayang sama Bapak. Andai saja Bapak mengerti kalau rokok bisa merusak kesehatan.....hei, tentu saja Bapak mengerti!

Kadang memang seperti itu. Kita tahu, ada beberapa hal tidak baik yang sebaiknya tidak kita lakukan. Tapi apa? Ya tetap kita melakukannya. Contohnya seperti merokok tadi.

Saya kuliah di jurusan kimia. Tentu saja saya sering mencari tahu atau kepo tentang rokok ini. Nggak susah juga mencarinya. Bahkan sekarang di poster-poster yang ditempel di sekolah/kampus pun kita bisa tahu bahwa rokok mengandung ratusan ribu senyawa kimia berbahaya. Saat saya masih SMA dulu-pun pernah melakukan percobaan untuk mengetahui berat ampas rokok yang masuk ke paru-paru yang terkandung dalam 1 batang rokok. Jadi rokoknya itu dihubungin ke selang, masuk ke tabung yang berisi kapas putih. Di akhir eksperimen, kita dapati kapas itu berwarna hitam legam. Astaga, Pak. Ini masih kapas, bukan paru-paru yang dipake buat merokok selama berpuluh-puluh tahun.

Saya mulai cari-cari video di youtube tentang bahaya rokok, gambar-gambar paru-paru perokok berat, dan lain-lain yang serem-serem. Pada jaman itu masih belum ada gambar serem di bungkus rokok. Dan apa yang Bapak katakan pada saya kala itu?

“Sepertinya Bapak salah nguliahin kalian di fakultas MIPA.”

Ya memang gitu, seh. Sebenarnya Bapak juga tahu kalau merokok itu nggak baik. Tapi kenapa nggak berhenti?

Bagaimana cara kita berhenti buat main sosmed? Sebagian besar dari remaja Indonesia pasti tidak bisa hidup tanpa sosial media seperti facebook, bbm, twitter, instagram, path, dan lain-lain. Kebanyakan masih belum mengerti dampak positif dan negatifnya, tapi sebagian sudah paham. Bahkan saya juga, nggak munak ya, nggak bisa jauh-jauh dari sosmed. Posting sana posting sini, upload sana upload sini, bocor sana bocor sini. Saya sadar kadang saya berlebihan. Saya ingin berhenti. Tapi caranya?

Mungkin sama juga kasusnya dengan mereka yang kecanduan game online. Pasti ada dampak positif dan ada dampak negatifnya. Karena saya belum pernah ‘mencoba kecanduan’ game online, jadi saya tidak tahu dengan pasti dampak-dampaknya. Tapi dari beberapa teman yang curhat ke saya, ada sebagian dari mereka yang ingin berhenti. Mereka tahu, dampak bermain game terus-terusan ini tidak baik untuk kelangsungan hidup mereka. Bukan berarti mereka bisa punah, ya. Tapi eksistensi mereka di dunia nyata jadi berkurang. #eaaa Sampai ada seseorang yang bertanya kepada saya, bagaimana cara berhenti main game?

Sampai kemudian saya menemukan jawaban dari semua pertanyaan ini.

Bagaimana cara berhenti?

Sebenarnya kita semua sudah tahu. Caranya berhenti ya berhenti saja. Berhenti merokok? Ya jangan beli rokok. Berhenti main sosmed? Ya uninstall aplikasinya. Berhenti main game? Ya cabut colokannya. Selesai.
“Tapi sulit, mbaaaakkk...,” begitu komentar salah seorang murid saya di tempat les.

Memang sulit, tapi bukankah itu memang caranya? Kita tahu, tapi kenapa kita seakan buta? Jika kita benar-benar ingin berhenti, benar-benar berniat berhenti, kita pasti bisa melakukannya. (ps: saya udah uninstall Path, Foursquare, Vine, Soundcloud >> way to go! ^^ Selanjutnya uninstall bbm?)

Nah. Pertanyaannya: apakah ini juga berlaku saat kita hendak memulai sesuatu? Caranya memulai ya memulai saja?

Kemarin ada siswa yang bertanya kepada saya, bagaimana cara dia bisa bergairah lagi untuk belajar kimia. Saya bingung dan jawaban saya sepertinya tidak memuaskan. Bagaimana, ya? Saya sendiri juga bingung. (ngerasa jadi guru gagal). Karena seperti ini: ketika saya sebagai siswa dan mahasiswa dulu, saya pasti PERNAH mengalami keBOSANan belajar. Yang saya lakukan kemudian? Ya tidak usah belajar. Saya isi kegiatan lain, yang kadang bermanfaat tapi kadang juga tidak. Nonton TV, nonton film, ngrumpi, baca novel, browsing, (belum jadi anak nongkrong dulunya). Tapi kemudian saya juga sadar bahwa saat itu peran saya di dunia ini adalah sebagai siswa/mahasiswa. Saya harus belajar. Itu sudah kewajiban. Maka setelah saya melakukan kegiatan selingan tersebut, saya belajar. Meskipun sebentar. Ini mungkin tergantung dari niat individu. Memasuki usia dewasa ini, seharusnya kita sadar dan cukup dewasa untuk mengerti apa yang harus dilakukan dan dikerjakan sesuai dengan peran kita.


Itu, sih, saya, ya. Tiap orang mungkin berbeda-beda. Tergantung dari niat dan kesadaran dari individu masing-masing. Jadi sampe sekarang sebenernya saya juga masih cari solusi buat dorong bapak ngurangin merokok. Sulit. Karena mungkin itu harus dari niat bapak sendiri untuk berhenti. Dari niat di sendiri. Mau belajar? Ya belajar aja. Mau nulis blog? Ya nulis aja. Mau berhenti main sosmed? Ya berhenti aja. Semacam mau sholat tapi kita cuma ngomong, “duh, belum sholat.” Enggak. Harusnya mau sholat ya sholat aja. Mungkin gitu sih.

3 komentar:

  1. bapak'nya mean itu bener mbak kan udah ada pepatah merokok mati tidak merokok mati lebih baik merokok sampek mati wkwkwkwk

    BalasHapus
  2. maklum mbak ayahe mean sama kayak aku pecandu rokok

    BalasHapus

Kasih masukan aja gak papa. Tambahin pendapat juga gak papa. Kalo ada pendapat lain sampein aja. Kritik aja juga gak papa. Terserah mau nulis apa deh, biar rame. Oke? *peluk cium dari header*