Di Lumajang sedang musim hujan. Tapi hujan yang
turun nggak sederas tahun-tahun lalu. Hujan tahun ini hujan php. Iya,
hujan-enggak-hujan-enggak. Hujan yang turun pun cuma gerimis kecil-kecil, tapi
banyak. Hujan yang kalau turun nggak bikin tanah basah, tapi tetep bikin basah
kita yang sengaja berlama-lama di luar ruangan. Mari kita sebut saja fenomena
ini “Hujan Sunny”. Hujan gerimis yang kayak di film Cinta Pertama (Sunny) yang
diperanin sama BCL dan Ben Joshua. (film favorit pas SMP, nih! :p)
Hujan sunny ini biasanya bikin dilema. Dilema
apanya?
Jadi contohnya dulu waktu saya SMA. Baru boleh naik
motor sendiri ke sekolah kita. Oke yang nyetir motor bukan saya. Karena saya
masih takut-takut, jadi nggak bisa. Yang nyetir tiap hari kembaran saya. Sesuai
pengamatan kita, tiap hujan sunny di Lumajang nggak ada pengendara motor yang
mengenakan jas hujannya. Lebih banyak para pengendara yang meminggirkan motor
dan mencari tempat berteduh saja. Daripada memakai jas hujan di tengah hujan
sunny yang mendera. Tapi saat itu kami pikir sah-sah saja. Dari pada basah
semua bajunya.
Pernah kami coba, karena terburu waktu untuk suatu
acara. Hujan sunny kembali datang tak kunjung reda. Kami memakai jas hujan dari
parkiran sekolah saya. Menembus hujan yang sebenarnya tidak membasahkan tanah
tapi tetap bikin basah kita-kita. Memang benar tidak basah, tapi apa? Semua
orang melihat ke arah kami dengan tatapan seperti ada ‘apa-apa’. Memang banyak
yang menembus hujan tanpa mengenakan jas hujan yang mungkin ada di bawah jok
motor mereka. Dari situ kami amati para pengendara, ternyata hanya kami saja
yang memakai jas hujan saat hujan sunny itu melanda.
Bah. Kami seperti tontonan saat berhenti karena
lampu merah yang menyala. Semua mata seperti berkata, ‘Ngapain ini pake jas
hujan segala? Bukannya ini gerimis saja? Manja.’ Atau itu hanya pikiran saya
saja, ya? Akhirnya sejak itu kami putuskan tidak memakai jas hujan biar nggak
dibilang manja. (padahal juga cuma pikiran saya, mungkin takut keliatan nggak
keren aja).
Kemudian kami berdua beranjak menjadi mahasiswa, di
kota Malang, kota sebelah dengan julukan ‘Kota Pendidikan Internasional’-nya.
Dan tentang jas hujan, kami menemukan anehnya. Saat itu saya sudah bisa
mengendarai motor untuk pergi kemana-mana meskipun masih belum punya surat
ijinnya (SIM maksudnya). Musim hujan di Malang kadang sama dengan musim hujan
di kota Lumajang sana. Hujan sunny juga sering banget turunnya. Suatu hari saya
harus menghadapinya. Karena mungkin sudah jadi habit, saya menembus hujan sunny
dengan pede-nya. Tapi ternyata berbeda. Hanya sedikit orang yang berteduh di
tepian jalan yang ada warung tutupnya. Di perempatan yang ada lampu merahnya,
semua orang memperhatikan saya.
Kali ini tatapan mereka beda. Mereka melirik ke
arah saya seolah berkata, ‘udah tahu hujan kenapa nggak dipake jas hujannya?’
Tuh, kan. Beda kota beda ininya (ininya?). Akhirnya
sejak itu jadi berubah lagi habit saya. Gimanapun hujannya, saya tetap mengenakan
jas hujan saya. Biar nggak dilirikin orang di lampu merah di tengah hujan sunny,
sih, tadinya. Tapi saya jadi merasa nyaman karenanya. Dengan memakai jas hujan,
kita tidak perlu terburu-buru saat mengendarai motor karena hujan turun dengan
derasnya. Kita jadi bisa lebih menikmati hujan yang menampar pelan wajah kita
lewat celah kaca helm yang sedikit terbuka.
Setelah kembali lagi ke kota Lumajang, habit saya
yang dari Malang kebawa. Saya selalu mengenakan jas hujan saya bagaimana pun
hujannya. Sekering atau sebasah apapun tanahnya. Meskipun banyak orang yang
ngeliatin saya dan mas-mas pom bensin menanyakan hujan dimana, saya tetap
memakainya. Saya sudah menemukan rasa nyamannya. Memakai jas hujan bukan
berarti pesimis hujan sunny-nya akan lebih deras dari sebelumnya. Mungkin saya
terlihat ‘tidak normal’ saat semua orang tidak memakainya juga. Tapi apakah
kita harus menjadi normal seperti mereka juga? Yang sebenernya nggak jelas juga
normal-tidaknya. Jelas-jelas hujan kenapa nggak dipake jas hujannya?
Apa ya. Ah sudah ah. Lagi-lagi nggak jelas apa
isinya. Nyesel nggak, bacanya? Makasih ya. Sengaja.
garai bengong mbak
BalasHapus