Rabu, 11 November 2015

Kapan Hujan?

Hujan. Ya, aku suka hujan.
God, who doesn't?
Siapa yang nggak suka hujan?

Hujan itu lucu. Hujan itu membasahi. Yang kering tiba-tiba jadi basah. Jadi segar. Dingin. Menyejukkan. Saat kita sedang merasa kelelahan, tidak tahu lagi apa yang harus diperbuat dengan masalah-masalah yang muncul, tiba-tiba datang hujan. Memang bikin mellow sesaat. Tapi sensasi saat titik-titik air menerpa wajah, itu yang menyenangkan. Titik air yang datang dari langit itu menyentuh kulitmu. Kemudian mengalir ke bawah. Menuju ke bumi lagi. Lihat. Air pun tahu asalnya. Dia berasal dari bumi. Menguap naik, dan kembali ke bumi lagi. Itu lucu sekali. Ironi dengan kita yang kadang ingin pergi ke langit dan tak kembali lagi ke bumi.


Kalau dari kutipan yang saya baca, semua orang pasti punya kenangan dengan hujan. Entah itu kenangan baik atau mellow.

Kok baik atau mellow, Ep? Baik kan pasangannya buruk.

Hahaha. Saya tidak percaya ada kenangan buruk yang diciptakan dari hujan. Hujan selalu membawa kenangan baik untuk saya. Dan sejauh ini, kenangan yang mungkin tidak menyenangkan saat hujan akan jadi kenangan yang mellow. Bukan buruk. Haha maksa sekali.

Kenangan baik seperti apa?

Yaitu saat kamu pertama kali patah hati. Oke, patah hati karena cowok itu nggak bagus banget. Untuk apa kita patah-patahin hati buat seseorang yang jelas-jelas bukan siapa-siapa kita dari awal. Sok-sok-an pacaran, lalu putus. Lalu patah hati. Di balkon lantai dua berpagar besi yang bercat hitam itu, saya menangis. Saya pertama kalinya menangis karena diputuskan pacar pertama saya. Hahaha. Iya saya pernah pacaran. Usia saya waktu itu 15 tahun. Saya sudah menahan tangis itu beberapa hari. Dan hujan membuat saya menumpahkan tangis saya di hadapannya. Adalah dia. Sahabat saya yang selalu ada. Yang sudah mengenal saya beberapa tahun itu. Berdiri di samping saya demi mendengar cerita di balkon yang tempias air hujan sedikit-sedikit itu. Sampai pada akhirnya saya tak kuasa menahan air di ujung-ujung mata. Saya pikir dia akan memeluk saya. Tapi tidak. Dia tertawa. Dia menertawakan saya. Dia bilang, hanya untuk lelaki (anak lelaki) seperti itu saja saya mengeluarkan air mata saya. Memangnya siapa dia? Tidak penting. Dia bilang saya cewek yang kuat. Dia nggak percaya saya bisa berubah seperti ini cuma gara-gara cowok. Dia meneruskan tertawa. Saya kemudian merasa bodoh. Amat sangat bodoh. Dia benar. Saya kuat. Dia kemudian diam. Saya juga diam. Sama-sama memandang ke depan. Beberapa menit kami diam dan hanya terdengar suara rintik hujan. Suara hujan kala itu. Aroma hujan kala itu. Tidak bisa saya lupakan. Kami berdua suka hujan.

Kenangan baik seperti apalagi?

Gerimis rintik-rintik. Saya sudah 16 tahun kala itu. Setelah diputus oleh pacar pertama saya, saya membuat keputusan yang sebenarnya tidak bisa dibilang benar. Sahabat saya yang saya ceritakan tadi. Sudah lama saya tahu bahwa dia menyukai saya. Saya tahu saya juga menyukainya. Tapi hanya sebatas itu. Kemudian beberapa bulan berlalu, kami sama-sama tidak berharap apa-apa. Tidak berharap lebih dari ini. Kami takut persaudaraan dan persahabatan ini hancur karena satu perasaan yang tidak seharusnya. Namun kadang hati ini tidak tahan lagi. Sampai akhirnya kami memutuskan menjalin hubungan (pacaran ye maksudnye). Hubungan jarak jauh. Ya, kala itu dia sudah pindah ke luar kota dan kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di kota lain. Tapi selang dua bulan hubungan kami berhenti begitu saja. Dia pergi. Dia menghilang. Iya, persaudaraan dan persahabatan selama beberapa tahun itu hilang begitu saja seperti ditelan paus biru. *hmm jadi curhat*
Lalu saya dekat dengan seseorang. Dia mahasiswa. Kami berhubungan lewat sms (iya, belum booming whatsapp sama bbm). Dia kakak kelas saya. Hari itu dia pulang ke kampung halamannya, di kota kami. Gerimis rintik-rintik. Saat sedang latihan drama untuk pertunjukkan seni sebulan lagi di kantin sekolah, dia datang. Sekolah ini dulu juga sekolahnya. Dia bilang dia menunggu saya di bawah pohon trembesi dekat lapangan basket, melalui sms. Saya (yang memang dari sananya agresif) berjalan di tengah rintik hujan. Tanpa sepatu. Masih memakai rok sekolah dan kaus pink bekas latihan drama. Dia duduk di sana menunggu. Tidak berani melihat ke arah saya. Dia malu-malu melihat ke arah lain. Saya samperin. Bilang, "sudah lama?" Dia hanya tersenyum. Dingin. Bau tanah basah karena gerimis. Suasananya bagaimana mungkin saya lupakan.


Kenangan baik?

Sudah lewat 4 tahun saya menjalin hubungan dengan kakak mahasiswa itu. Saya-pun sudah menjadi mahasiswa kala itu tengah menyelesaikan skripsi saya. Sedangkan dia sudah bekerja di luar pulau menjadi pengajar di salah satu politeknik negeri. Dia pulang. Lagi liburan. Dia sempatkan ke kota tempat saya menimba ilmu dan pagi-pagi sekali mengajak saya mengunjungi rumah neneknya. Rumah neneknya berjarak dua kota dari kota tempat saya kuliah. Tapi tidak apa-apa. Saya suka bepergian dengannya. Kapan hujan? Saat perjalanan pulang kembali. Kami pulang ke kota perantauan saya sore hari. Saat itu musim hujan. Dan apa yang lupa dia bawa di sepeda motornya? Jas hujan. Kami tidak punya jas hujan. Dia marah. Kami berteduh bersama-sama beberapa pengendara lainnya di pinggir jalan. Dia marah. Saya diam. Dia memukul-mukul tiang. Dia marah kepada dirinya sendiri. Mengapa dia bisa lupa membawa jas hujan itu? Mengapa dia harus bertukar sepeda motor milik pamannya untuk pergi mengantar saya kembali ke kota perantauan? Mengapa dia tidak mengeluarkan jas hujan yang dia siapkan di motornya sendiri? Itu yang ternyata menjadi penyebabnya. Hujan. Petir. Benar-benar deras kala itu. Saya hanya berkata semua akan baik-baik saja. Saya hanya takut dia basah dan kedinginan. Dia juga berkata hal yang sama. Dia takut saya basah dan kedinginan. Ah, sok indah sekali memang saat itu :)
Kami melanjutkan perjalanan saat hujan mulai berubah menjadi gerimis. Kami memutuskan singgah di swalayan terdekat untuk membeli jas hujan. Saya menyarankan untuk membeli 2 jas hujan dari plastik tipis yang cuma lima-ribuan. Untuk apa? Toh kami sama-sama memiliki jas hujan yang masih baik kondisinya (tapi lupa dibawa). Ini cuma untuk kondisi darurat. Semakin malam. Menjelang magrib kami hampir sampai di gerbang kota. Tapi hujan semakin kalap. Banjir. Dia membelokkan setir ke pom bensin terdekat (yang juga banjir selutut). Kami berdua tertawa-tawa turun dari motor mencari perlindungan. Mencari tempat berteduh. Saya tersenyum. Dia juga. Senyumnya amat menghangatkan. Hujan deras. Petir menggelegar. Banjir. Suara hujan menderu. Dia tidak marah. Dia lega. Masih ada saya untuknya. 

Kenangan manis?

Saya sudah menyelesaikan skripsi saya. Adalah seorang pria ini, yang dari awal pertemuan membuat hati saya berdesir. Saya berusaha meyakinkan diri saya. Dia bukan ancaman. Dia hanya seorang teman yang kebetulan membuat hari-hari saya lebih baik. Membuat saya mencari-cari helm berwarna hijau setiap melintasi lahan parkiran motor kampus. Membuat saya celingukan setiap memasuki gedung jurusan. Membuat saya dag-dig-dug saat melihatnya berjalan dari kejauhan. Apa saya harus menyapanya? Apa yang harus saya katakan? Ini tidak benar.
Hari itu dia juga sedang semangat mengerjakan skripsi. Kami memang teman baik. Saat itu sebenarnya urusan revisi saya di kampus sudah selesai. Tapi entah kenapa saya memutuskan me-molor-molor-kan waktu untuk pulang. Menemani dia di lobi jurusan untuk merevisi skripsi miliknya. Dia meminjam pensil pink saya. Memeriksa setiap kata dan kalimat yang dia ketik sendiri (atau copas?). Dan hujan datang. Deras sekali. Saya jadi memiliki alasan tambahan untuk tidak pulang. Entah kenapa. Saya suka melihatnya sedang serius. Dengan memegang pensil pink milik saya itu. Dengan kakinya yang memakai sepatu converse yang ditekuk bersila di atas kursi tinggi itu. Hah! Sudahlah ini sudah keterlaluan. Saya pura-pura membuka notif-notif hape yang sebenarnya tidak penting. Saat hujan sudah mulai reda, saya memutuskan pulang. Dia juga. Kami berdua berjalan menuju parkiran. Oh, Ibu. Aku berjalan dengannya. Kaki saya gemetar. Seperti baru pertama kali berjalan berdua dengan laki-laki. Saya diselamatkan oleh saudara kembar saya. Dia nongol dari pintu gedung jurusannya. Mengajak pulang bareng, karena motor kami memang satu. Alhamdulillah. Kami jadi jalan bertiga. Hari itu hari ulang tahun saya. Dan hujan. Tanah basah. Tetesan air kecil-kecil dari pohon di atas kami. Sudah cukup rasanya, meskipun dia lupa hari ulang tahun saya.

Kenangan indah?
Saya sudah lama tidak bertemu dengannya. Saya sudah bekerja di kota tempat tinggal saya sekarang. Kota semasa kecil. Kota semasa sekolah. Kembali dari perantauan. Tapi hari itu saya kembali ke kota perantauan. Harus menghadiri salah satu sahabat merayakan wisuda sarjananya. Hari itu sepulang wisuda, tiba-tiba kakak itu, dia yang tadi, muncul di depan kos. Dia ternyata juga berada di kota ini. Kota tempat kita bertemu.

Sehari setelah itu, kami pergi ke sebuah event yang diadakan fakultas. Dari namanya sudah menarik. Tapi sampai di sana sepi, acara inti yang kami tunggu masih beberapa jam lagi jadwalnya. Kami terlalu pagi. Kami memutuskan untuk mencari hiburan lain sebelum acara inti. Setelah lewat dhuhur, kami kembali ke kampus, tempat acara seminar-seminaran itu digelar. Masih sepi. Mungkin jam istirahat. Kami memutuskan pergi ke masjid kampus terlebih dahulu. "Naik apa ini?" "Jalan aja. Dekat kok."
Kami berjalan menuju masjid kampus. Mendung sudah menggantung. Sambil bercengkrama tentang jaket yang saya kenakan. Bagaimana kalau hujan? Jaket saya tipis. Kalau basah, pasti sudah tidak berfungsi lagi. Malah 'ngecap' sana-sini. Dia protes. Dia menyalahkan saya gara-gara beli jaket tipis. "Cewek-cewek memang aneh. Ngapain beli baju yang nggak fungsi gitu? Jaket itu seharusnya kayak gini. *menunjukkan jaket hitam yang dia pakai* Tebel. Hangat. Bukan cuma dari kain tipis gitu. Bukan jaket namanya."
Baru selemparan batu kemudian, saya mendengar suara hujan dari kejauhan. Heh! Hujan! Hujan datang. Kami tertawa-tawa berlari mendekat ke masjid. Berpencar. Tentu saja. Tempat wudhu perempuan dan laki-laki berbeda sisi. Kami terjebak di bangunan yang sama, tapi di sisi yang berbeda selama dua jam. Iya, hujannya dua jam. Hujan deras. Petir. Tampias air (yang sengaja saya nikmati). Mengobrol dengan yang berada di sisi lain masjid via whatsapp. Baru pukul setengah empat, saya bisa melangkah keluar. Saya menunggu dia di perempatan dekat masjid tadi. Hape saya mati. Beberapa saat kemudian saya sudah melihatnya berjalan beberapa meter dari tempat saya berdiri. Saya berdiri beberapa menit menunggu dia di situ. Masih gerimis. Sengaja. Saya sengaja membiarkan gerimis menerpa saya. Tidak peduli. Wudu tadi sudah menghapus bedak saya (lupa nggak bawa).

Kenangan-kenangan itu cuma beberapa saja. Banyak sekali sisanya yang tidak mungkin saya tuliskan semuanya.


Kadang hujan juga hadir di saat yang tidak tepat.

Saat kita sedang on duty, atau dalam keadaan yang mengharuskan tidak hujan (mau berangkat kuliah, eh ujan. mau berangkat kerja, eh ujan. sebel). Sebal memang. Tapi suara rintik, tetes-tetes air, dan aroma itu mengalahkan semuanya. Ini nikmat. Ini harus kita syukuri. Inilah yang ditunggu anak-anak kos kami saat beberapa bulan sumur tidak keluar air. Inilah yang ditunggu pekerja jauh saat sudah lama sepeda motor tidak dicuci. Inilah yang ditunggu pemilik sawah tadah hujan saat persediaan air mulai menipis. Dan lainnya lagi (habis ide). Menurut saya, hujan selalu punya sisi baik.

Kapan hujan?

Itu pertanyaan saya beberapa hari terakhir. Sudah lama sekali sejak hujan terakhir di kota ini. Saya kangen hujan. Kangen baunya. Kangen suaranya. Kangen basahnya. Memang dapat membangkitkan kenangan-kenangan lama. Tapi itu membuat saya damai. Damai dengan hati saya. Kadang kita butuh hujan di saat-saat sedih. Di saat kita merasa sendiri. Di saat kita merasa sakit sekali. Hujan membawanya turun. Turun kembali ke bumi. Sudah saatnya kembali. Dan hati jadi bersih lagi. Semoga.
Kata orang setelah badai selalu ada pelangi. Mungkin tidak selalu. Karena menurut saya matahari tidak langsung muncul dan memberikan pendaran sinar-sinar yang berinteraksi dengan titik-titik air dan mendifraksikan cahaya menjadi berwarna mejikuhibiniu tersebut. Tapi setelah hujan, selalu muncul kesegaran. Keteduhan. Dan kedamaian.
Tadi malam saya sedang di kamar, membaca novel yang saya download dari internet *ssst*. Jendela saya masih terbuka. Suasana kota kami akhir-akhir ini panas. Pengap sekali. Mau hujan sepertinya. Tapi belum turun juga. Tadi malam berbeda. Udara dingin tiba-tiba masuk dari celah jendela. Masih dengan playlist lagu Oasis dan novel yang bikin saya geregetan itu, saya mencium bau yang sangat saya kenali. Bau yang segar itu. Bau yang sedap itu. Bukan, bukan bau darah. Bau hujan!
Saya lompat. Saya lepas headset di telinga dan melempar hp dari genggaman saya (ke kasur). Berlari ke depan. Menuju teras. Ya Allah. Saya rindu sekali. Tanah basah. Daun basah. Suara rintik ini. Saya duduk di teras, sendirian beberapa saat sambil tersenyum. Mungkin saya sudah gila. Hahaha. Terus tersenyum seperti itu. Saya rindu saat-saat hujan. Saya rindu saat-saat hujan memberikan kenangan.


Kapan hujan lagi?

Saya tidak tahu. Hari ini hujan tidak turun. Saya tidak sabar. Kenangan apalagi yang akan dihadirkan Tuhan untuk saya melalui hujan? Bismillah. Semoga hari-hari kita menyenangkan.


sumber gambar : google.com

4 komentar:

  1. Emang bener ya Eph kata orang hujan itu 1% kenyataaan, 99% nya kenangan ��

    BalasHapus
  2. huehehehe iya. kenangan baik, na. Alhamdulillah

    BalasHapus
  3. hujan iku.... tempat sembunyi... sama tempat berdoa...

    blog nya tambah keren ...

    BalasHapus

Kasih masukan aja gak papa. Tambahin pendapat juga gak papa. Kalo ada pendapat lain sampein aja. Kritik aja juga gak papa. Terserah mau nulis apa deh, biar rame. Oke? *peluk cium dari header*